Selasa, 24 Desember 2019

Menyayangi Hewan Kesayangan Rasulullah
                Kucing merupakan hewan yang sering berada di sekitar kehidupan dan lingkungan manusia. Banyak yang senang memelihara hewan jinak yang imut tersebut. Namun, tak sedikit juga yang menganggap bahwa kucing adalah hewan yang pemalas, jorok, banyak kumannya, dan sebagainya. Mungkin masyarakat perlu mengetahui lebih jauh lagi tentang kehidupan kucing agar bisa menambah sedikit kepedulian terhadap hewan kesayangan Rasulullah itu.
                Kucing biasanya memiliki berat badan antara 2,5 hingga 7 kg dan jarang melebihi 10 kg. Kucing dapat hidup selama 15 th sampai 20 th, pernah tercatat kucing tertua berusia sampai dengan 36 th. Sedangkan kucing yang hidup di lingkungan urban modern hanya mampu bertahan hidup selama 2 th atau kurang dari itu. Umur 6 th pada kucing setara dengan umur 10 th pada manusia. Pada tulangnya kucing memiliki 230 tulang 24 kali lebih banyak dari manusia dan memiliki  30 ruas tulang belakang yang juga  5 kali lebih banyak dari manusia. Kucing memiliki sekitar 30 gigi dalam mulutnya. Pada matanya terdapat lapisan pemantul cahaya yang dinamakan tapetum lucidum yang dapat menyebabkan matanya berpendar di malam hari. Lapisan pemantul itu dapat meyerap cahaya 6 kali lebih kuat daripada manusia dan memungkinkan kucing untuk dapat melihat dalam waktu gelap.
                Banyak keistimewaan kucing yang belum banyak diketahui orang. Kucing mampu membunuh atau memakan beberapa ribu spesies, mengalahkan kucing besar (seperti singa, harimau, dan sejenisnya) yang hanya mampu memangsa kurang dari 100 spesies. Namun, karena ukurannya terbilang kecil, maka tidak berbahaya bagi manusia. Ketika meraba lidah kucing, seakan lidahnya ditutupi oleh berbagai benjolan yang berfungsi seperti gergaji. Sebagian orang mengira bahwa benjolan ini dipergunakan sebagai kantong kecil untuk membawa aliran susu ke mulut agar proses penelanan berlangsung sempurna. Ada juga yang mengatakan bahwa kucing menggunakan lidahnya untuk minum dengan membuat perut lidah untuk membawa cairan susu. Proses seperti ini tidak menyebabkan cairan kembali ke wadah cairan.
                Selain itu, kucing merupakan hewan yang paling bersih bahkan lebih bersih dari manusia. Kucing tidak menyukai air atau tidak suka bersentuhan dengan air, karena air merupakan tempat yang sangat subur untuk tumbuhnya bakteri, apalagi pada air yang tergenang. Kucing juga suka menjaga kestabilan kehangatan tubuhnya. Ia menjauh dari panas matahari. Mereka sering merawat dirinya dengan menjilati rambutnya sendiri. Dari hasil penelitian kedokteran dan percobaan yang telah dilakukan di laboratorium khusus hewan, ditemukan badan kucing bersih secara keseluruhan. Bahkan ia lebih bersih dari manusia. Allah Swt membekali kucing dengan otot yang melindungi kulitnya dari kuman.
                 Dari Abu Qatadah ra, bahwa Rasulullah Saw berkata tentang Al-Hirrah (kucing): “Sesungguhnya kucing bukan najis, dia hanyalah hewan yang biasa beredar di sekeliling kalian.”. Makna  ‘beredar’ di sini  (kucing) adalah yang masuk dan membaur dalam kehidupan kita, dan di antaranya yang seperti ini adalah firman Allah Swt tentang anak-anak: Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian  yang lain”. Hadis terseut juga menunjukkan tentang kesucian kucing, termasuk liurnya, hal itu membuktikan salah satu kasih sayang Allah Swt kepada umat Islam. Sebab, kebersamaan mereka dengan manusia begitu erat, maka akan sulitlah jika mereka dikategorikan najis.
                Meskipun kucing adalah hewan yang suci, tetapi kucing haram hukumnya untuk dimakan. Kucing memang pada asalnya najis karena kucing merupakan hewan yang haram untuk dimakan. Namun, Rasulullah Saw memberikan alasan yang tidak ditemui pada hewan lainnya yaitu karena kucing adalah hewan yang biasa ditemui di sekitar kehidupan manusia. Kucing memang tidak najis pada air liurnya, segala sesuatu yang keluar dari hidungnya, keringat, bekas minum dan bekas makannya. Namun, pada kotoran dan kencing dari kucing tetap dihukumi najis. Begitu pula darahnya dihukumi najis.
                Mengenai hukum jual-beli kucing dalam hal ini sebagai binatang hias, para ulama berbeda pendapat. Ulama yang tidak memperbolehkan jual-beli kucing secara mutlak mendasarkan kepada hadis berikut :“Dari Abi az-Zubair ra ia berkata, saya bertanya kepada Jabir ra tentang hasil penjualan anjing dan kucing. Lantas Zabir ra pun menjawab, bahwa Rasulullah melarang hal tersebut”. (H.R. Muslim)
Namun, hadis tersebut dipersoalkan oleh para ulama yang memperbolehkan jual-beli kucing. Dalam sebuah keterangan yang terdapat dalam kitab Asna al-Mathalib dikatakan bahwa yang dimaksud larangan (mengambil) hasil penjualan kucing sebagai terdapat dalam hadis tersebut adalah larangan terhadap kucing liar. Sebab, kucing liar itu tidak memiliki kemanfaatan untuk menghibur dan sebagainya.

Dengan mengacu kepada keterangan di atas, maka yang tidak diperbolehkan adalah jual-beli kucing liar, sedang kucing rumahan atau kucing yang dijadikan sebagai hewan hias seperti kucing anggora adalah boleh. Dari sini juga dapat dipahami bawa secara umum menjual hewan hias atau peliharaan adalah boleh sepanjang mengandung kemanfaatan, tidak najis, tidak membahayakan dan tidak ditemukan dalil yang melarangnya. (Aimah)

Jumat, 03 Februari 2017

"Pada jeda yang membisu, aku mengerti kau tengah mencipta rahasia" Back Song: Sammy Simorangkir - Rela Kehilangan

Pada jeda yang membisu, aku mengerti kau tengah mencipta rahasia


Aku akhirnya harus lelah untuk tetap ada. Bahkan, kesendirian dan kesepian ternyata terlalu berbaik hati hingga aku tak menyadari ia mampu menyadarkan . Rasanya, hatiku telah berjuang memahami keinginanmu, meski ia sendiri tak tahu luka mana yang tulus menemani.

Aku diam, namun bukan membisu. Kau mungkin tahu seperti apa rasanya memendam rindu yang takpernah bertemu pada ujungnya. Kau seharusnya mungkin mengaku, semakin hening perasaaan ini, semakin jelas ia tergambar di kertas mana berlabuh.

Aku akhirnya mengerti. Terkadang seeorang selalu mempunyai cara untuk memulai perpisahan. Aku mengerti, perasaan ini akhirnya takkan pernah sampai.

“Kita harus terbiasa.” katamu di atas kebingunganku.
Kita masih suka hal-hal yang tersirat, meski hatiku menyimpan sejuta tanda tanya.
“Seperti apa?” balasku.
“Seperti ini.” lanjutmu.  
Kita memilih hening. Kafe mini yang kita pilih untuk bertemu sedang memutar sebuah lagu.
.
.

Tak ku sangka kau tinggalkan aku.
Akhiri semua yang telah berlalu. Tanpa ada satu kesempatan. Ku harus rela kehilanganmu
Begitu perih yang ku rasakan
Lalui hari tanpa hadirmu
Mencoba tuk melupakan
Kaulah yang terdalam menghiasi hidupku

Biarlah kini serpihan hati
Menemani air mataku
Hingga habis dayaku
Untuk selalu mencintaimu...'
.
.

“Oh, apa ini perpisahan?” tanyaku kemudian.
Diam bukanlah jawaban, tapi setidaknya aku semakin mengerti apa keinginanmu.
Dan, lagu masih saja berlanjut.

'Biarlah kini serpihan hati
Menemani air mataku
Hingga habis dayaku
Untuk selalu mencintaimu…'
.
.


“Bukan.” jawabmu akhirnya.
Hatiku semakin sesak, perasaan seperti apa ini, Tuhan? Hatiku menjerit hingga tiada orang yang mendengarnya.

Dan, setelah itu kau pergi, belum pernah kembali lagi.
Pada jeda yang membisu, pada hari-hari yang sepi, pada waktu-waktu tanpamu. Aku harus mengerti, kau tengah mencipta sebuah rahasia, yang tak ingin membuatku terluka demi mengeluarkan air mata.

.
.

Biarlah kini serpihan hati
Menemani air mataku
Hingga habis dayaku
Untuk selalu mencintaimu





Senin, 05 Desember 2016

SENANDUNG RINDU


Gema suaramu menggema, hatiku bergetar
Nada-nada kasihmu bertalu-talu, jiwaku bergerumuh
Wajah teduhmu mendamaikan, mataku bersinar
Bisikan doa-doamu mengeja, ruhku menghebat
Ya Allah …, pada setetes ilmu-ilmuMu
Pada butiran-butiran himmahnya
Pada samudra pengabdiannya
Pada pintu-pintu langit bersinggasana ampunannya
Pada langkah mulia jejak teladannya
Pada waktu yang tak habis oleh kesabarannya
Pada jejak-jejak bening perjuangannya
Pada rasa sayang dan kasih di hatinya
Dari Guru kami, untuk kami
Manusia yang taklayak menjadi abdinya
Ya Allah …, sungguh MahaDasyat kebesaran-Mu
Jika rindu-Mu jauh lebih besar 
Maka, kami pun tak kuasa

Kami pun sangat merindukannya….
Rindu-Mu, rindunya, dan rindu kami
Kami sangat merindunya….


Semarang, PPDD, 16 Juni 2016, 100 hari Abah Kiai Masyrokhan,  



Sabtu, 26 November 2016

Taswisuda Unnes oleh Santriwan dan Santriwati Ponpes Durrotu Ahlissunnah Waljamaah, Gunungpati, Semarang

Cerita Tak Bernama

Inginku dengarkan
Dentingan sukma meramu menuju tahta
Melangkahkan jejak menyisakan cerita

Bukan sekadar dongeng pengantar tidur
Atau kisah sang putri bersama pangerannya

Dengarkan kami…
Sebagai hamba penghaus ilmu
Sebagai manusia yang belum bernama 
Di sini, istana kecil nan berbilik-bilik

Jikalah pelangi indah karena penuh warna
Kerlipan warna itulah yang kami sebut cerita
Laksana purnama yang berbinar terang di angkasa
Menyinari lorong-lorong kekosongan jiwa

Pada sesosok itulah kami mengabdi
Menyerahkan seluruh kebodohan diri kepadanya
Memaksakan diri agar bisa disebut ‘santri’

Lalu, mengapa kalian masih tertidur?
Lihatlah betapa memalukannya wajah-wajah ini
Merengut namun tak segera menyesali diri

Tahun yang berabad terenggut sia-sia
Oleh bayang-bayang nestapa dunia
Oleh kekalutan hati yang mengakar di depan sana

Jangan ikuti langkah kami
Kala hujan siang itu tak menyisakan pelangi
Ketika kami hanyalah awan gelap penghalang rembulan
Setidaknya, janganlah pula kau cerca kami

Wahai sang maha Guru…
Dalam tunduk hina wajah-wajah ini
Dalam pundak-pundak yang telah membungkuk ini

Inilah kami,
Memujamu mengharap seberkah doa
Untuk kami
Para pengabdi yang sudah bertoga

Wahai sang maha Guru…
Engkaulah raja pemilik istana itu
Pemimpin yang senantiasa kami teladani

Seorang ayah yang memanjakan putra-putrinya
Sebagai tempat kami berkelu kesah
Menjadi garis nasab yang mulia
Yang, begitu meneduhkan…

Berkati kami dalam menapakkan langkah kaki
Lumuri sayap kami dengan ridhomu
Bekali kami dengan mata air ilmu-ilmumu
Dan, dzikirkan kami melalui munajat-munajatmu

Kami, hamba yang masih belum bernama
Hanya bisa menangkupkan kedua tangan
Memohon ampun dan mendamba maaf
Cukuplah, untuk cerita penuh kenangan
Terpatri bersama rindu yang mendalam
Izinkan kami membawanya
Ke mana hati ingin membawanya….

03 November 2016,
PPDA, Gunungpati, Semarang 




Kamis, 26 November 2015

Aku Masih Mencintaimu, Malam(?)

Aku mencintaimu, Malam

Sepi, beginilah hati berkata. Hampa, begitulah perasaan menjelma. Dingin, begitulah raga merasa. Malam, kau masih ingin bersamaku, kan? Menjadi teman ceritaku yang paling setia?
Bukanku kagum karena kau mampu menyihir dunia ini dengan pesonamu. Malam, ingatlah dirimu jika tanpa bintang atau bulan di angkasa sana, kau hanyalah sewaktu singkat yang cukup buat orang terlelap? Saat kau hadir, mata-mata manusia enggan  melihatmu. Mereka bahkan memejamkan mata hanya untuk menemui mimpi-mimpi semu, pagi pun akan membawanya menghilang.

Bersamamu hanya akan membuat raga merapuh oleh belaian angin milikmu. Kesehatan mereka menurun bukan? Banyak manusia yang tidak bertahan hanya untuk menikmatimu. Apa yang keliru? Jika apa yang kau miliki begitu indah untuk dirangkai. Bulan yang mewarnai lembaran langitmu, bintang yang menghiasi sudutmu, suara udara yang mesra, lampu-lampu berkelap-kelip di bawahmu, serta jangkrik yang sampai mampu terdengar di telinga. Menakjubkan! Lalu, sekali lagi apa yang tak benar? Bukankah itu terlalu indah jika dilewati begitu saja?

Malam, mengertilah aku takkan melupakanmu. Bersamamu adalah waktu yang berharga. Bersamamu, mampu mengusir kesendirian hati karena harapan berselimut sederet doa. Bersamamu, kumampu menggerakkan pena lalu merangkai kata per kata menjadi sebait kenangan manis tentangnya. Bersamamu, adalah alasan mengapa aku tak lekas beranjak darimu. Jangan kau tanya lagi kenapa aku mencintaimu, Malam(?).

Rabu, 25 November 2015

“Gugur Sebelum Musimnya”


“Esensi dari tugas ini adalah tanggung jawab kita” pesan yang selalu aku ingat dari beliau Abah Kiai Masyrokhan selama aku di sini. Tak terbayangkan sudah hampir dua tahun aku di dalamnya. Bagiku, mereka yang ada di sini adalah keluarga. Ada cinta, rindu, kekompakkan, keuletan, perjuangan, dan kebersamaan. Semua indah dan memiliki mimpi yang menjulang tinggi di angkasa. Kebersamaan, ya kebersamaan. Jika yang satu sakit, maka yang lain ikut sakit, berat sama dijinjing dan ringan sama dipikul begitu pepatah kuno mengatakan dengan penuh makna.
Dari jurusan yang berbeda, daerah asal yang tak sama, hobi yang berbeda, semua bersatu dalam keluarga kecil itu. Keluarga yang dibentuk karena kami memiliki mimpi yang sama, ingin bisa menulis. Ya, mimpi sederhana yang memiliki banyak harapan di dalamnya, dan harapan itu bagai menara-menara yang menjulang tinggi. Aku yakin, kami semua akan bisa mewujudkannya. Aku yakin masih akan bisa mewujudkannya, meski cita-citaku dulu sama dengan cita-cita Ahmad Fuadi yang ingin ke ITB tidak terwujud, tapi aku yakin masih akan ada banyak mimpi di sana. Lewat menulisnya, dia kini menjadi seorang yang penuh inspiratif, penerima 8 beasiswa luar negeri, menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi, dan mendirikan Komunitas Menara, sebuah lembaga sosial untuk membantu pendidikan orang yang tidak mampu dengan basis sukarelawan. Aku ingin itu terwujud di sini. Jika satu orang memilki satu menara, maka kita tak hanya mempunyai lima menara. Kita bahkan bisa memilki berpuluh menara menjulang tinggi, dan menara-menara itu adalah mimpi kita sendiri.
Tentu, dan memang tak semudah mengoceh seperti yang saya celotehkan, semua butuh perjuangan, hati yang selalu sabar dan pantang menyerah, tidak takut mencoba, dan mau menyempatkan. Alasan-alasan ketika ditagih tulisannya saat sudah deadline sudah menjadi makanan sehari-hari dalam dunia menulis di sini. Namun, kenyataannya kita mampu menghasilkan majalah dinding Madina (dulu), Buletin Embun dua kali setiap bulannya, dan kita bisa menciptakan majalah Aswaja 5 edisi berturut-turut. PERCAYA, kan? KITA itu BISA! Ingat mantra ajaib dari Abah, “Mau, Mampu, dan Menyempatkan”. Kita pasti akan bisa melewatinya. Aku hanya ingin kalian bisa bertahan di sini, mantra itu jika kita pegang terus, kalian pasti akan bisa. Kalian adalah orang yang selalu mewarnai hatiku, tanpa kalian hidupku jauh tak bermakna. Aku masih yakin kita keluarga di sini karena aku yakin masih ada CINTA di sini (nunjuk hati J).
Semua itu tak terbayangkan ketika salah satu sahabatku membawa dua pesan itu. Dua pesan dari sahabat kita sendiri, sahabat yang selalu aku rindukan goresan-goresan tintanya untuk menyapa dunia.  Perih dan pedih memang tak ada bedanya. Sedih. Setelah kutahu, daun yang satu itu telah gugur karena dipetik, kini dua daun yang lain seakan tergoyahkan oleh hantaman angin yang sangat kubenci. Angin yang selalu menggugurkan daun-daun itu, meski tak mungkin kusalahkan. Begitu juga setahun yang lalu, awalnya hanya satu, kemudian dua, dan pernah ada harapan semoga daun itu adalah daun yang terakhir. Namun, musim gugur ternyata hadir di saat hati sedang pilu menantikan musim semi. Musim gugur yang tak selalu kuinginkan. Musim gugur yang menjatuhkan daun-daun yang masih hijau terserak angin. Musim gugur yang mengundang perpisahan, musim gugur yang masih selalu tak kuinginkan. Semoga, esok saat musim semi, daun-daun itu akan semakin berwarna-warni. 

Perhatian itu, Gimana Sih?


Ini bukan masalah bagaimana ia bersikap keras, ini bukan masalah bagaimana ia membandingkan kesehatanku dengan orang gila, ini bukan masalah bagaimana cara ia berpikir, tapi jauh dari itu semua, aku yakin masih ada orang yang sayang dan mengingatkanku betapa berharganya kesehatan itu. Betapa berarti waktu yang disia-siakan hanya untuk tidur. Ah, intinya ia tidak suka dengan kebiasaan yang terus-terusan mendekapku. Ya, tidak bisa tidur malam dan tidak bisa bangun pagi. Sarapan sekaligus makan siang, tidak doyanan (red: milih-milih makanan), tidak doyan sayuran, suka minum es, suka buang-buang duit hanya untuk mencari makanan yang disukai, tepatnya didoyani ('Kan sudah ada catering di pondok, kan?' begitulah pertanyaan yang sering dihantam ke saya :D), belum lagi saya yang males sekali mencuci baju, sering ke laundry (Ya Allah...!, padahal uangnya ya ngirit-ngirit). Hoho, pokoknya dan paling intinya hanyalah ia tidak suka melihatku seperti itu. Hufft..!! Umur memang tidak menjadikan seseorang jauh menjadi lebih dewasa, yupz, dia setahun lebih mudah dariku. Tapi, bagiku dia sudah bisa memanajemenen hidupnya jauh, jauh, jauh lebih baik daripada diriku.

Ya, beginilah pesannya:

"Pernah kamu berpikir mengapa orang gila selalu sehat dan tidak mudah sakit? apalagi orang gila yang berkeliaran di pinggir jalan, mereka tidak pernah mandi, makan minum sembarangan, ada juga yang tidak pakai baju, tidak peduli dengan hal yang kotor tetapi tetap saja mereka sehat. Untuk menjawab pertanyaan ini mudah saja, jawabannya karena orang gila tidak pernah Stres, mereka tidak pernah punya beban pikiran dan selalu merasa bahagia.

Itulah kenapa orang gila tidak pernah sakit karena kehidupan yang selalu bahagia dan tak pernah peduli dengan hal-hal di sekitarnya ini lah yang membuat tubuhnya jauh lebih sehat dibandingkan orang waras.
Orang gila tidak pernah berpikir macam-macam, orang gila tidak pernah minta makanan macam-macam bahkan nasi basi di tong sampah pun akan dia makan. Orang gila taunya dia lapar dan tak peduli dengan nasi basi atau nasi kotor yang penting dirinya kenyang dan bisa jalan-jalan lagi.
Berbeda dengan orang waras, orang waras yang melihat nasi basi saja jijik, terkadang pun sangat pilih-pilih dengan menu makanan, ada masalah sedikit langsung menjadi beban pikiran. Inilah yang membuat orang waras sering merasa stres yang bisa membuat dirinya sakit.
Alangkah luarbiasanya bukan, orang gila yang seringkali disebut dengan orang stres ini ternyata stresnya orang gila membuat dirinya jauh lebih sehat dibandingkan stresnya orang waras yang malah bisa bikin dirinya sakit jiwa.
Dan tahukah kamu orang gila yang dipandang sebelah mata ini ternyata termasuk golongan orang yang mulia di mata Allah. Berdasarkan fakta, coba kamu pikir jika orang gila tidak akan pernah merasa kekurangan, tidak pernah mengeluh bahkan dirinya selalu menerima apa pun pemberian Allah kepadanya. Tidak pernah menuntut macam-macam, bahkan ketika dirinya merasa tidak enak badan dia tidak pernah mengeluh, dia selalu bahagia menerima rasa sakit itu dengan lebih melakukan hal yang menurutnya menyenangkan.
Kondisi seperti itu sangatlah beda jauh dengan orang waras. Orang yang masih waras seringkali merasa kekurangan, sudah punya penghasilan jutaan masih saja selalu merasa kurang, sudah punya motor masih ingin punya mobil, sudah punya menu makanan enak masih saja ingin makanan yang lebih nikmat.
Serba merasa kekurangan inilah yang membuat orang waras selalu banyak pikiran karena keinginannya yang lebih tinggi. Pikiran untuk cepat-cepat bisa mendapatkan apa yang dia inginkan ini yang menjadi beban. Belum lagi jika keinginannya itu tidak tercapai. Pasti akan membuatnya stres dan menjadikan dirinya tidak mau makan, pola hidup yang buruk hingga pada akhirnya membuat kesehatannya lebih buruk.
Untuk itu, mulai sekarang cobalah untuk hidup lebih bersyukur bawa hidup dengan lebih santai namun diringi dengan usaha. Dengan pikiran yang bahagia tanpa beban ini akan membuat tubuh kamu sehat terus dan jauh dari kata sakit."

Rabu, 11 Maret 2015

RESENSI

[Resensi]
Cinta Sejati itu Datang dari Beijing

Judul                                   : Assalamualikum, Beijing!
Penulis                               : Asma Nadia
Genre                                  : Fiksi-novel
Penerbit                         : AsmaNadia Publishing House, Kompleks Ruko D Mall, Blok A No. 14, Jl. Raya Margonda, Depok
Tebal/halaman               : 13x20 cm/viii + 360 halaman
Harga                                  : Rp65.000,00
Edisi                                     : cetakan ketiga, Februari 2014
ISBN                                     : 978-602-9055-25-2



Harta dan kebangsaan,
tak membuat laki-laki menjadi pangeran.
cinta sejati seorang putrilah yang mengubahnya.

                Dewa dan Ra. Dua sejoli yang terikat oleh dia yang bernama cinta. Namun, cinta yang sudah mengantarkan kepada satu komitmen pernikahan itu kandas setelah Anita, teman sekantor Dewa menawarkan cintanya di luar ketidaksengajaan yang keliru. Membiarkan luka dan sisa rasa mengelana di hati Ra, gadis yang sangat dicintai Dewa.
                Asma berjumpa dengan laki-laki jangkung bermata sipit di negeri tirai bambu. Pertemuan pertama mereka membekaskan perasaan aneh di hati laki-laki itu. Zhongwen yang non-muslim kembali ingin sekali berjumpa dengan Ashima, nama khusus yang diberikan kepada Asma sebagai tokoh dalam cerita Ashima dan Ahei, Mitos Yunani Kuna yang bercerita tentang kesetiaan. Asma ragu. Benarkah kesetiaan itu ada setelah hatinya terluka oleh kepupusan cinta orang yang berkomitmen bersamanya.  
                Asma, gadis yang baru-baru ini mengenakan kerudung itu terbukti ketegarannya setelah penyakit APS menjadi teman baru dalam hidupnya. Kuatkah Asma? Penyumbatan darah yang sewaktu-waktu bisa terjadi di bagian tubuh mana saja membuatnya harus siap dengan keterbatasan. Mama dan Sekar, satu lagi Ridwan suami Sekar menjadikan kekuatan tersendiri untuk Asma agar tetap tegar menghadapi ujian yang menimpanya itu.
                Hingga, dua laki-laki yang memiliki tempat istimewa di hati Asma tiba-tiba menghampirinya. Dewa yang dulu sering bertemu di halte bus dan sekarang sudah siap bercerai dengan istrinya untuk menembus kesalahannya. Ataukah Zhongwen, laki-laki berkulit putih yang tetap memanggilnya Ashima, sebagai gadis Cina yang sangat setia dengan kekasihnya Ahei. Mendampingi gadis yang bernama lengkap Asmara melalui lembaran hidup bersama penyakit APS primer yang dideritanya. Beijing, mengantarkannya menemukan cinta sejati yang begitu indah dirasa kedasyatannya.
                Asma Nadia berhasil mengajak pembaca masuk ke dalam kehidupan Asma, Dewa, dan Zhongwen. Begitu banyak pesan yang dapat ditangkap mengenai cinta, kesetiaan, dan perjuangan hidup. Novel yang masih dalam proses cetak ketika Asma Nadia mengikuti International Writing Program, Fall Residency ini mampu menggambarkan Kota Beijing dengan gaya yang berbeda. Serasa pembaca bisa merasakan Kota Beijing sendiri.
                Bahasa yang disajikan lembut dan mengalir enak dinikmati. Mengajak berdiskusi bersama pembaca tanpa ada kesan menggurui. Cerita yang akan diflimkan pada bulan Desember itu dibuat menjadi dua setting yang di awalnya nampak berbeda, namun satu alur membuat pembaca menerka-nerka dengan tebakannya sendiri bagaimana ending cerita manis ini. Selamat Membaca! (Aimah)


JURNALISME MASA KINI

Kembali Menjadi Jurnalisme yang Baik

            Jurnalistik sebagai suatu kegiatan yang di dalamnya mencakup proses mencari berita, menulis, mengedit, lalu mempublikasikan berita tersebut kepada masyarakat luas. Dalam menyampaikan informasi tersebut jurnalistik memerlukan sebuah media. Mulai dari media cetak, media radio, media televisi, dan sekarang yang semakin menguasai yaitu media online.
            Perkembangan zaman dibarengi dengan teknologi membuat sistem budaya manusia semakin berwarna-warni. Banyak budaya-budaya nenek moyang yang hilang, ada yang terinfeksi budaya lain, ada pula budaya yang benar-benar baru. Begitu juga dalam dunia jurnalistik, kini media online atau situs berita di internet mulai menguasai dan menggeser posisi media-media terdahulu, bahkan ada yang menyatakan media seperti media cetak, radio, televisi merupakan media yang tradisional. Sedangkan, media online sendiri merupakan media yang modern.
            Memang media online saat ini menjadi hal yang sangat mudah didapatkan. Dengan adanya media online, penyampaian informasi tidak berbatas ruang dan waktu. Seseorang yang ingin mencari berita yang di dalamnya terdapat teks, audio, video, dan gambar sekaligus hanya perlu menggerakkan jemarinya, lalu klik, menuggu hitungan detik, selesai. Di mana pun dan kapan pun ia bisa dengan mudah mengakses sesuai keinginannya. Bahkan, media sosial seperti facebook, twitter, bbm, whachApp, telah dilengkapi dengan fasilitas penyedia berita. Entah, siapa yang mempunyai ide mulus seperti itu, atau memang media tradisional khususnya media konvensional (media cetak) akan perlahan-lahan terbunuh?
            Hal yang paling penting di samping membicarakan soal media berita adalah kualitas berita yang disampaikan. Pada dasarnya, dalam jurnalitik hal pokok yang harus ada adalah berita itu harus sesuai dengan kebenaran. Kebenaran yang apa adanya dan tidak mengada-ada sesuai apa yang telah terjadi. Hal itulah yang saat ini sulit didapatkan. Banyak media yang berkerja sama dengan pihak-pihak tertentu atau bekerja di bawah sebuah kekuasaan sehingga tujuan pemberitaannya kadang harus mengikuti pihak-pihak tersebut tanpa menghiraukan aturan jurnalistik yang jelas-jelas sudah tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).
            Publik juga mempunyai hak dalam mendapatkan berita, makanya yang terpenting di sini bukanlah melalui apa berita itu disampaikan, tapi bagaimana berita itu memuat sesuatu yang benar dan baik bagi masyarakat sehingga menimbulkan respons balik yang positif. Namun, perlu diakui bahwa walaupun media cetak sekarang semakin terhimpit, media cetak masih tetap memiliki beberapa keistimewaan. Media cetak lebih mengedepankan penggunaan bahasa Indonesia sesuai EYD dibanding media online yang terkesan tanpa proses editing karena harus segera di-posting. Media cetak masih dibutuhkan oleh kaum bawah yang di Indonesia masih tinggi karena belum memiliki gadget untuk mengakses di media online. (Aimah)



Senin, 29 Desember 2014

Dear Diary 2


Malam berhiasan hamparan bintang berbalut awan kelabu. Samar dan tak jelas ketika sedikit mendung menghampirinya. Bulan yang saat ini genap berumur 27 malam nampak tak ada raut mukanya. Segaris alis tipis yang melengkung di ufuk Barat. Kumencoba melawan rindu yang sudah mulai tak bersahabat. Rindu kepada sesuatu yang masih belum bisa kutemukan. Mencari sesuatu yang tak pasti memang tak selalu mudah. Cinta kepada sesuatu yang sangat jauh dari kehidupan kita memang rasanya pilu. Hanya harapan demi harapan yang tak kunjung ada ujungnya.
Rindu membuat jiwa ini merapuh dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, bahkan setiap helaan napas ini hampir menyekat penuh cinta. Sekali lagi, rindu kepada sang bayangan yang entah tiada pernah ada dia di dunia ini. Maaf, bukan tidak ada, namun belum ada.
Apa kabar ia di sana? Di mana? Aku hampir terlupa kalau aku tak tahu ia siapa dan di mana ruang yang kini ia singgahi. Bayangan itu hitam, jika mentari datang ia menghilang dan tak pernah mau kembali sebelum bulan menjumpainya. Seperti itukah bayanganku? Bayanganku bahkan lebih dari itu, ia ada dan terasa namun ia benar-benar tak pernah ada. Yah, hati ini yang merasakannya. Hati si pemuja rahasia yang tiada henti memanggil dan berharap cintanya mengubah bayangan menjadi sesosok yang ia idamkan. Menjadi belahan jiwa, menjadi pangeran impian, menjadi imamnya kelak.
Allhumma Hablana Min Ajwazinaa Wadzurriyyatina Qurrota A’yuni Waj’alna lilmuttaqina Imaman. Aminn...
Kutunggu di saat Kau mampu menemukanku, bayangan....


Di Ujung Sebuah Keikhlasan

Di Ujung Sebuah Keikhlasan

Karya: Aim_Ummu el huroir

Di Ruang tamu, Fadhil memulai katanya.
“Bagaimana Dik, kamu bersedia memberiku ruang di hatimu untuk meraih Sunnah Rasulullah ini?.”
Deg!. Perkataan itu kembali menggertakan hati Fatinah. Atau biasa dipanggil Fatin itu. Lagi-lagi wajah Fatin hanya mewakilkan kebingungan hatinya. Fadhil pun memulainya lagi.
            “Aku mengerti, mungkin ini terlalu cepat untuk kamu, dan pasti kamu juga tidak akan menyangka bahwa kedatanganku ke sini dengan penuh kemantapan untuk memilkimu secara sah yang akan membawa kehalalan bagiku.”
Fatin pun mulai mengerti apa makna kalimat tadi.
            “Maaf Mas beri saya waktu untuk memikirkan hal yang tidak mudah untuk saya putuskan ini.”
            “Ya saya mengerti, kutunggu jawabanmu Dik.”
Kembali Fatin teringat suasana dua minggu yang lalu itu. Kini yang ada di hatinya hanya rasa gelisah yang tak tau kapan berakhirnya. Pilihan antara melanjutkan kuliahnya ke luar negri dengan prestasi dan tanpa biaya atau memilih menjadi istri seorang Ustad yang bersarjana satu dan soleh itu.
            Dengan melihat usia Fadhil yang tujuh tahun lebih tua, rasanya tak sanggup membayangkan bila dia harus menunggu Fatin lima tahun lagi setelah menempuh pendidikannya itu. Sedang, Fatin yang baru berumur 22 tahun itu ingin menggapai cita-cita yang telah diimpikannya sebelum ia diwisuda tahun ini. Namun apapun muatan hati Fatin, dia harus mengungkapkannya kepada Fadhil. Bicara soal hati,  Fatin dari dulu memiliki perasaan lebih terhadap Fadhil. Tetapi ketika perasaan yang telah lama ingin diluapkan itu terbalas, kegoncangan hadir mempertanyakan perasaan itu.
***
            “Dik Fatin…”
            “Iya Mas.”
            “Lalu bagaimana?.” sambil mengerutkan keningnya.
            “Mas mengerti akan rencanaku untuk melanjutkan kuliah di luar negri kan?.”
            “Insya Allah, dengan kebesaran Allah, aku akan ikhlas menunggumu Dik, lima tahun bahkan lebih.”
            “Subhanallah..,, Mas yakin?.”
            “Iya, Dik.”
            “Terima kasih Mas, atas keikhlasanmu, maafkan saya Mas,.”
            “iya Dik, tidak apa-apa.”

            Fatin pun terasa bias menghirup udara bebas kembali dan lebih semangat lagi untuk menggapai mimpinya itu.
Dengan kepastian Fadhil, dia pergi meninggalkan Bumi Pertiwi ini singgah ke negri Islam, Kairo Mesir itu dengan penuh orientasi yang berujung istana cinta yang mereka impikan. Dia juga yakin, ketulusan cinta yang ia peluk akan mampu menghalau segala ujian cinta yang mungkin lebih kejam dari ini.
***
            Hubungan yang terbentang jarak jauh, memang tidaklah mudah. Hanya seminggu sekali rata-rata Fadhil maupun keluarga Fatin mendapatkan secuil kabar darinya. Itu pun hanya melalui via E-mail. Tidak masalah untuk Fadhil, yang penting masih dapat kabar dari orang yang ia rindukan saat ini. Juga karena Fadhil sudah mempunyai kesibukan sendiri menjadi seorang guru di sebuah SMA dan juga menjadi Ustad di sebuah Pondok Pesantren di Desanya.
            Memiliki kekuatan rasa cinta yang sama dan terjarak oleh berabadnya waktu menjadikan mereka harus ikhlas menerima ujian cinta yang datang dari-Nya. Hanya karena keyakinan sebesar itu, mereka mampu menghadapi berbagai persoalan-persoalan kecil terkait dengan hubungan mereka. Dengan hati penuh dengan kedewasaan, mereka selalu dan tetap dalam satu tujuan dan satu langkah yang sudah jelas arahnya kemana harus berpijak.
            Mulai dari masalah restu orang tua, umur, pekerjaan, karir, dan segelumit model masalah yang tak tampak oleh orang lain. Kerinduan yang semakin berpacu dan memenuhi beranda hati mereka, tak dapat dielakkan. Namun, semua itu harus mereka empaskan demi mewujudkan sebuah mahligai cinta yang menjadi sunah Rasulullah itu.
***
            Waktu beradu semakin menggebu, tak pelak, lima tahun yang terasa sangat lama itu, kini tinggal satu bulan untuk menghabiskannya. Prosesi wisuda yang digelar dua minggu sebelumnya, harus Fatin ikuti tanpa hadirnya sanak keluarga, sahabat, teman, maupun Fadhil yang sangat ia harapkan. Rentang jarak dan biaya menjadi kendalanya. Satu bulan tersisa untuk mengurus segala kebutuhan baik mengenai berkas-berkas kelulusannya di Universitas tersebut atau memulai berkemas untuk pulang ke tempat asalnya dengan kerinduan yang semakin menyerbu hatinya.
***
            Kabar kepulangan Fatin  sudah diketahui oleh keluarga dan juga Fadhil. Betapa akan bahagianya dia, keikhlasan dia untuk menunggu selama itu, tinggallah menghitung berpuluh jam lagi. Jika dihitung dengan hari, hanya akan menunggu lima hari lagi menuju pelaminan, mengikrarkan sumpah setia di hadapan para saksi. Lalu, memberi seberkas mahar yang dengan ikhlas ia akan berikan untuk orang yang ia nanti dan cintai itu.
            Fadhil tak mau lebih dalam lagi membayangkan dan melayang lagi membiaskan semua keinginan besarnya itu. Segala persiapan sudah disiapkan satu bulan saat Fatin masih di negri orang itu. Mungkin terlalu cepat jika hanya lima hari setelah ia di rumah, Fatin juga diminta untuk segera melangsungkan munakahat yang juga sangat ia nanti-nanti itu. Tak masalah bagi Fatin, karena sudah pasti dipertimbangkan segala sesuatunya, dan jika harus secepat itu, dia pasti bisa menerimanya.
            Tiba-tiba Hp Fadhil berdering. Nada panggilan masuk membuyarkan lamunan indahnya, adikQ Fatin (nama kontak untuk Fatin) memanggilnya.
            “Assalamu’alaikum Mas.”
            “Wa’alaikumsalam, Dik.”
            “Sampai mana Dik?.”
            “Sudah memasuki wilayah Indonesia Mas. Mas apa kabar?.”
            “Alhamdulillah Dik, Allah selalu memberi Mas kesehatan dan kebahagiaan yang kutunggu pun akhirnya akan segera datang.”
            “Saya sangat berterimakasih kepada Mas, sudah ikhlas menunggu saya selama itu.”
            “Itu karena saya punya mimpi Dik, mimpi yang sebentar lagi akan terwujud bersamamu Dik.”
            “Saya yakin Mas, keikhlasan dan kebesaran cinta Mas, suatu saat akan terwujud lebih indah dari ini, jika kepulanganku tak sesuai harapan Mas, aku mohon maaf Mas.”
            “Kita akan tetap bersama Dik, selamanya, di dalam ridho Allah.”
            “Insya Allah Mas, saya juga mencintaimu Mas hingga waktu kunanti. Boleh aku minta satu hal Mas?.”
            “Boleh Dik, apa itu?.”
            “Mas harus selalu mempunyai rasa ikhlas Mas, kepada siapapun dan dalam keadaan apapun. Aku juga sangat ikhlas telah mencintaimu Mas.”
            “Insya Allah, Dik.”
            “…”
            “Dik??.”
            “…”
            “Dik, masih mendengar suara Mas?!.”
***
            Banjir tangis  dan ungkapan bela sungkawa tanda rasa kehilangan yang teramat dari para keluarga, sahabat teman, memenuhi rumah Fatin. Tak pernah terbenak, kecelakaan yang mengguncang pesawat yang ditumpangi mahasiswa-mahasiswa dari Universitas luar negri itu, telah merenggut nyawa Fatin. Seorang yang ditunggu sekian lama itu telah kembali kehadapan-Nya.
            Tak terbayangkan, Fadhil tak mampu lagi mengerti arti keikhlasan yang ia yakini akan membawa kebahagiaan bersama orang yang ia cintai itu. Fadhil juga tak mampu bergerak. Tak mampu menyentuh makna pesan terakhir dari Fatin. Apa masih perlu Fadhil memiliki rasa Ikhlas ini. Apa pantas Fadhil ikhlas akan kepergian seorang yang dengan ikhlas ia nantikan berpuluh waktu itu. Apakah Fadhil masih bisa berikhlas atas kejutan dasyat ini. Inikah ujung dari sebuah keikhlasan itu.
***


           
           


Menyayangi Hewan Kesayangan Rasulullah                 Kucing merupakan hewan yang sering berada di sekitar kehidupan dan lingkungan manu...