“Esensi dari tugas ini adalah
tanggung jawab kita” pesan yang selalu aku ingat dari beliau Abah Kiai
Masyrokhan selama aku di sini. Tak terbayangkan sudah hampir dua tahun aku di
dalamnya. Bagiku, mereka yang ada di sini adalah keluarga. Ada cinta, rindu, kekompakkan,
keuletan, perjuangan, dan kebersamaan. Semua indah dan memiliki mimpi yang
menjulang tinggi di angkasa. Kebersamaan, ya kebersamaan. Jika yang satu sakit,
maka yang lain ikut sakit, berat sama dijinjing dan ringan sama dipikul begitu
pepatah kuno mengatakan dengan penuh makna.
Dari jurusan yang berbeda, daerah
asal yang tak sama, hobi yang berbeda, semua bersatu dalam keluarga kecil itu.
Keluarga yang dibentuk karena kami memiliki mimpi yang sama, ingin bisa
menulis. Ya, mimpi sederhana yang memiliki banyak harapan di dalamnya, dan
harapan itu bagai menara-menara yang menjulang tinggi. Aku yakin, kami semua
akan bisa mewujudkannya. Aku yakin masih akan bisa mewujudkannya, meski
cita-citaku dulu sama dengan cita-cita Ahmad Fuadi yang ingin ke ITB tidak
terwujud, tapi aku yakin masih akan ada banyak mimpi di sana. Lewat menulisnya,
dia kini menjadi seorang yang penuh inspiratif, penerima 8 beasiswa luar
negeri, menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi, dan mendirikan
Komunitas Menara, sebuah lembaga sosial untuk membantu pendidikan orang yang
tidak mampu dengan basis sukarelawan. Aku ingin itu terwujud di sini. Jika satu
orang memilki satu menara, maka kita tak hanya mempunyai lima menara. Kita
bahkan bisa memilki berpuluh menara menjulang tinggi, dan menara-menara itu
adalah mimpi kita sendiri.
Tentu, dan memang tak semudah
mengoceh seperti yang saya celotehkan, semua butuh perjuangan, hati yang selalu
sabar dan pantang menyerah, tidak takut mencoba, dan mau menyempatkan.
Alasan-alasan ketika ditagih tulisannya saat sudah deadline sudah menjadi
makanan sehari-hari dalam dunia menulis di sini. Namun, kenyataannya kita mampu
menghasilkan majalah dinding Madina (dulu), Buletin Embun dua kali setiap
bulannya, dan kita bisa menciptakan majalah Aswaja 5 edisi berturut-turut.
PERCAYA, kan? KITA itu BISA! Ingat mantra ajaib dari Abah, “Mau, Mampu, dan
Menyempatkan”. Kita pasti akan bisa melewatinya. Aku hanya ingin kalian bisa
bertahan di sini, mantra itu jika kita pegang terus, kalian pasti akan bisa.
Kalian adalah orang yang selalu mewarnai hatiku, tanpa kalian hidupku jauh tak
bermakna. Aku masih yakin kita keluarga di sini karena aku yakin masih ada
CINTA di sini (nunjuk hati J).
Semua itu tak terbayangkan ketika
salah satu sahabatku membawa dua pesan itu. Dua pesan dari sahabat kita
sendiri, sahabat yang selalu aku rindukan goresan-goresan tintanya untuk
menyapa dunia. Perih dan pedih memang
tak ada bedanya. Sedih. Setelah kutahu, daun yang satu itu telah gugur karena
dipetik, kini dua daun yang lain seakan tergoyahkan oleh hantaman angin yang
sangat kubenci. Angin yang selalu menggugurkan daun-daun itu, meski tak mungkin
kusalahkan. Begitu juga setahun yang lalu, awalnya hanya satu, kemudian dua,
dan pernah ada harapan semoga daun itu adalah daun yang terakhir. Namun, musim
gugur ternyata hadir di saat hati sedang pilu menantikan musim semi. Musim
gugur yang tak selalu kuinginkan. Musim gugur yang menjatuhkan daun-daun yang
masih hijau terserak angin. Musim gugur yang mengundang perpisahan, musim gugur
yang masih selalu tak kuinginkan. Semoga, esok saat musim semi, daun-daun itu
akan semakin berwarna-warni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar