Minggu, 31 Agustus 2014

Senyummu, Memaafkanku Oleh: Aim El Huroiroh

Senyummu, Memaafkanku
Oleh: Aim El Huroiroh

Ramadan telah menyingsingkan hari demi hari hingga kulewati begitu singkatnya. Bulan malam yang sudah tak tampak semburat sinarnya pertanda angka ganjil mulai berlomba mencari malam seribu bulan. Sembilan hari lamanya untuk menuju kemenangan itu. Kulirik jam yang berada di pergelangan tangan kiriku sudah menunjukkan pukul 22. 34 WIB. Laptop yang berada tepat di hadapanku masih bernafas dengan suara mesinnya. Rasa kantuk tak menggoyahkanku mengerjakan laporan yang harus kukumpulkan besok. Laporan terakhir untuk tugas ujian semester empatku. Semangat segera pulang kampung menikmati suasana bulan suci bersama keluarga tercinta.
Selesai! Hidupku bagaikan burung yang terbebas dari jerat sangkar bebasnya. Terbang bersama angin dan awan di atas hamparan langit biru. Senang dan bersenandung meski hanya sementara. Perasaan senang itu tiba-tiba terusik oleh memori kuning masa lalu bersama kakakku. Hatiku risih dan malu ketika kumulai mengerti apa yang Allah takdirkan kepada kakakku. Dunia seakan membisu dan membisukan fitrah mata hatiku. Kakak yang mengalami dan aku yang berimbas malu. Waktu itu, aku baru kelas tiga SD dan kakak sudah berumur remaja, tanpa kutahu pasti umurnya dan cantik. Aku dan teman-temanku SD bermain di pekarangan rumah sederhana milik orang tuaku. Peta umpet menjadi mainan yang menyenangkan saat itu dan temanku Doni menjadi penunggunya. Kami berpencar mencari tempat persembunyian. Aku bersembunyi di balik meja ruang tamuku. Di sana ada kakak yang sedang menyapu lantai.
“Di mana Ikmal, Kak? Kakak lihat Ikmal?” kata temanku. Takut temanku mengetahui keadaan kakakku, aku sengaja keluar dari bawah meja menunjukkan diri kepadanya. Keesokan harinya setelah kejadian tak sengaja itu, teman-temanku menjauhiku dan sering mengejekku. Aku sangat sedih dan tak punya teman seperti dulu. Hari-hariku membisu, tanpa kicauan burung dan rengekkan jangkrik atau pun desisan angin. Hanya ada diam dari lidah yang tak bergerak. Aku benci kakak, karena kakak aku tak punya teman dan menjadi ejekan omongan. Malu sepanjang aliran waktu selama aku sekolah di SD.
Kebencian kecil itu sebenarnya kupendam tanpa kuutarakan kepada kakakku. Aku masih takut dengan bapak ibuku yang setiap hari mencairkan hati memberi pelajaran-pelajaran hidup, bercerita tentang kisah-kisah yang lucu, dan meminta kami agar selalu menyayangi saudaranya sendiri apapun keadaanya. Bagi kami, entah tanpa perasaan benci itu atau tidak, keluarga adalah bangunan yang saling menguatkan satu sama lain. Jika satu bagian itu retak, yang lain akan ikut rapuh dan jika dibiarkan akan merobohkan setiap puing di dindingnya.
Bagian itu sudah ada yang retak, pikirku kala aku naik ke kelas tiga SMP, enam tahun yang lalu. Aku tak pernah mengerti bagaimana perasaan yang dibumbui iblis ini masih bersemayam di hatiku. Aku tak bisa marah atau pun memberi hinaan sekata pun. Bagiku itu hal yang sangat sia-sia. Aku tak pernah tahu bagaimana kakak menunjukkan cintanya kepada adiknya. Dunia hanya diam melihat tingkahku semakin membahana tak jelas oleh perasaan aneh untuk kakakku sendiri. Kakak yang selalu memberiku sarapan setiap aku akan berangkat sekolah, kakak yang tak pernah bosan menjemputku saat pulang sekolah, dan kakak yang sangat tulus menjagaku dari ganasnnya pancaran matahari, hingga ia rela menggendongku agar kakiku tak terkena jalan aspal yang begitu panasnya di siang hari tanpa peduli punggungnya encok.
Pernah aku berpikir, adakah yang selain dia di dunia ini yang begitu menyayangiku melebihi kedua orang tuaku sendiri? Ya Rabb..., hatiku sangat hina dan sangat keji sempat merasakan benci yang meracuni diriku sendiri. Hukuman apa yang harus kutimpa agar dosaku terhapuskan dan membalas setiap jengkal ketulusannya? Tanpa terasa pipi ini telah lembab oleh deraian air mataku. Mengingat betapa buruknya diriku dulu, membenci kakak yang cantik tanpa pernah cerewet sedikit pun menyayangiku hingga detik ini. Malam ganjil di bulan suci ini membawa lantunan rindu berirama merdu mengalir di lubuk hati ini. Aku ingin sekali memeluknya dan menunjukkannya ke dunia. Akan kutunjukkan inilah kakakku yang cantik yang telah mampu membuatku masuk ke jenjang perguruan tinggi favoritku. Kakakku yang ingin adiknya menjadi orang yang bisa pandai bicara dengan kebenaran. Kebenaran yang benar di hadapan Allah. Kebenaran yang sebenar-benarnya benar.
“Jadilah Kamu manusia yang selalu berbicara benar Mal, itu adalah cita-cita kakakmu yang sangat menyayangimu. Meskipun itu menyakitkan, bicarakanlah dengan sebenar-benarnya.” pesan Ibu sebelum akan masuk ke perguruan tinggi. Ya, saat itu aku sangat tidak yakin bisa meraih impian kakak. Aku harus berkata benar, apapun itu. Aku bingung saat itu, namun hidup dan ketulusan kakakku membuatku harus berani menggapainya. Aku akan mengatakan sebenarnya dengan indra mulutku yang sempurna jika aku pernah memiliki perasaan aneh kala kecilku dulu dan sebagai balasannya aku akan menggapai keinginan kakakku. Aku janji. Aku akan meminta maaf dan memberikannya gaun lengkap dengan jilbab putih yang sangat cantik jika dipakai dirinya di saat kemenangan tiba nanti, aku sangat yakin itu. Namun, kebahagian sesaat itu hanyalah sebuah bayangan saja,
“Benar katamu Mal, dia sangat cantik mengenakan baju dan jilbab putih itu dengan senyumnya yang sangat menawan dan harumnya bagai melati putih yang berasal dari taman Syurga.” kata Ayah di tengah tangisanku yang membuncah. Hatiku tersambat petir yang sangat dasyat dan jiwaku terterjang oleh ombak penyesalan. Air mataku tak hentinya menetes bagai hujan deras di kala musimnya. Kakak benar-benar tak membuka matanya. Mulutnya yang tak pernah mengeluarkan kata sepatah kata pun semasa hidupnya kini dihias oleh lengkungan manis di wajahnya, ya, kakakku sangat cantik. Dan, aku gagal memeluknya ketika seperti ia masih bisa menggendongku, hanya dalam pembaringan ia diam berjuta bahasa, dan aku yakin kakak sedang berbicara yang sebenar-benarmya, jika hidup adalah lorong yang sewaktu-waktu bisa membawamu ke dalam kematian.
“Kakak, aku yakin dengan diammu itu, kau mempunyai berjuta bahasa kasih sayang dalam hati untuk adikmu ini. Dalam diammu itu telah mengurung perkataan kotor dan dusta yang sangat dibenci Allah, Minal Aidzin Wal Faidzin Kak, mohon maaf lahir dan batin ya Kak, maaf aku terlambat.” kucium batu nisan yang telah menutupi tubuhnya. Harum bunga melati Syurga dan senyuman itu membuatku yakin jika kakakku telah memaafkan semua perasaan getir itu, “Terimakasih Kakak...”.




Bingkisan terindah buat Emak Aim El Huroiroh

Bingkisan terindah buat Emak
Lima tahun silam, 2009
            Aira cemas menunggu sendiri di bilik rumah kecilnya. Menanti seseorang  yang kini tengah menghadiri acara wali murid di SMP  di desanya itu. Bukan Emaknya yang ia cemaskan. Hingga suara khas gaya jalan Emaknya  pun terdengar. Dengan dentuman jantung yang semakin kencang, Aira menyambut Emak tepat di depan pintu rumahnya. Dengan cepat, amplop putih yang di covernya tertulis namanya itu sudah berada di tangan Aira. Sembari membuka, dentuman-dentuman di jantung Aira semakin memuncak. Dua buah suku kata yang ditulis kapital semua dan di-bold itulah yang tengah memecahkan letusan kecemasan di dalam hatinya.
LULUS
***
            Aira menangis lagi.
            “Bagaimana ini Rif?” tanya Emak sambil melihat Aira menangis.
            “Iya Mak, sudah saya carikan. Saya sudah ngobrol-ngobrol sama pak kepala sekolah.” jawab kakak Aira.
            Masih saja Aira berkokoh menitihkan air matanya. Berpura tak mengerti tujuan pembicaraan itu.
***
            Waktu mulai menginjak ke pertengahan malam. Beberapa menit lagi mungkin. Aira masih saja belum terpejam. Lampu berdaya 10 watt yang berada di atas gotaan sempit dan berisi 7 santri putri itu sedari tadi sudah tidak menyala. Ketujuh santri itu pun sudah melalang buana ke alam mereka masing-masing. Tetap saja Aira tak berhasil menutup kelopak matanya.
            Benaknya sedang menjamu sketsa beberapa hari yang lalu. Saat Aira berduduk siku di rumah kayunya mendengarkan nasihat-nasihat dari orang tuanya.
            Emak....!” panggil Aira dalam hatinya beriring dengan air matanya. Di mata Aira yang penuh linangan air itu tak pernah berhenti merindukan wajah Emaknya. Wajah Emak yang mulai berkerut menggambarkan semakin banyak beban yang harus ditanggung demi cita-cita Aira.
***
Dua tahun yang lalu, 2012
Tiga tahun berlalu bersama prestasi Aira yang tak pernah berlalu. Peringkat pertama selalu ia dapatkan selama sekolah. Emak pasti bahagia. Bahagia karena Aira segera kembali menemani Emak di gubuk kayunya. Namun, menjadi mahasisiwi di sebuah perguruan tinggi adalah mimpi Aira selanjutnya.
Mak, Aira lolos, masuk.” ucap Aira semangat sekali.
“Lolos piye, Nduk?” jawab Emak tak mengerti.
“Aira dapat beasiswa dan masuk perguruan tinggi yang Aira cita-citakan, Mak.”.  Rona muka  Emak tetap saja datar dan nampak Emak tak ingin berpisah lagi dengan Aira. Yang Emak ingin Aira menemani masa tua orang tuanya. Bukan mimpi, bukan prestasi. Tapi, Aira tetap saja Aira.
***
Emak..” panggil Aira lirih.
Dalem Nduk...” jawab Emak juga lirih.
Emak ingin Aira jadi apa, Mak?”
Kuliahe sing sregep, Nduk.”
Enggeh, Mak. Restui Aira menghafal Alquran Mak,...” sembari menciumi tangan Emak.
Sebuah hadiah yang sangat jauh diinginkan Emak. Emak tak pernah tau bagaimana Aira melakukan ini semua. “Jika Aira belum bisa membahagiakan Emak dan Bapak di dunia ini, Aira ingin dekat dengan Allah dan akan selalu Aira pintakan kebahagiaan abadi teruntuk mereka. ‘Fadhulii fii ‘ibadii wadkhulii jannatii’...”.
Hanya hati Aira yang mampu mengungkapkannya.
***
Nama saya Aimah Nurul Falah, panggil saja Aim. Lahir di Jepara, 19 Oktober 1994. Masih belajar di jurusan Bahasa dan sastra Indonesia semester 4, tepatnya prodi sastra Indonesia di Unnes. Jangan lupa mari berbagi ilmu di akun FB: Aimah Nurul Falah, Twitter: @aimmatuzzahro atau e-mail: aimmae_beluphet@yahoo.com.


CINTA DALAM IMRITHI Aim El Huroiroh

CINTA DALAM IMRITHI
Aim El Huroiroh

Alhamdulillahilladzi qod wafaqo # Lil’ilmi khoiri kholqihi walittuqo
Hatta nahat qulubuhum linahwihi # ...

Terdengar nadzoman imrithi yang hampir mirip dengan musik simponi yang dipadukan dengan suara santri putra dan santri putri Ponpes Al-Falah. Sayangnya, bukan musik biola atau piano yang  mereka mainkan, beberapa terbang, bass, dan balasik yang mereka kolaborasikan. Aku dan tiga santri putri menuju ke sumber suara itu. Lagi-lagi aku terlambat.
Ustad Thoriq telah berada di ruang kelas 2, kelas Madinku lebih dari 15 menit yang lalu. Sembari menunduk dan mengucapkan salam, aku pelan-pelan masuk. Tidak heran makhluk lainnya melihat kebiasaan burukku. Ustad Thoriq pun melanjutkan pidatonya. Ups. Bukan pidato, menjelaskan pelajarannya. Malam ini ia mengampu pelajaran imrithi. Mungkin pelajaran yang lebih aku favoritkan dibanding dengan pelajaran yang lain.
“Ada yang tahu apa itu Kalam menurut bait ini?” tanya Ustad Thoriq kemudian.
Terlihat hanya beberapa santri putri yang berbalas-balasan pandang dan suara bisik-bisik dari mulut mereka.
Aku pun mulai mencari kata-kata untuk kurangkai menjawab pertanyaan tadi. Kuacungkan tangan dan kujawab dengan semua pengetahuanku. Tak sengaja mata kami bertemu. Deg. Hatiku bergetar aneh. Ada perasaan yang tak seperti biasanya. Ada apa dengan tatapan Ustad Thoriq? Ampun, hanya kebetulan kali, pikirku.
JJJ
Seperti biasa, setelah berjamaah di aula putri, kubawa diriku ke kamar. Bilik kecil dan sempit saksi bisu di mana kudalami ilmu agama di Ponpes Al-Falah ini. Tiba-tiba suara santri putri bergerumuh di depan papan informasi. Sebagian masih ada yang lari-lari kecil menuju kerumunan itu. Terlihat dari wajah-wajah mereka buram seakan terjadi sesuatu dengan mereka.
“Aduh, aku takziran ro’an bak mandi bulan ini...” ucap salah satu santri.
Terdengar  sedikit dari celoteh-celoteh mereka serasa mampir di telingaku. Aku yakin dengan reputasi burukku. Pasti kena takzir seperti bulan-bulan lalu. Takziran Madin selalu siap saya hadapi di akhir-akhir bulan seperti ini. lalu, dengan santai kuikut melihat, walaupun sudah yakin namaku sudah ada di sana. Benar, di level 2 aku menempati posisi. Yah, meningkat lagi, menghafalkan semua bait Imrithi bab Mubtada’ dan Khobar kepada ustad-ustadnya masing-masing. Tidak! Ustad Thoriq?!
JJJ
            “Bangun Hanna.., monggo piket ten ndalem...
Dengan berat kubuka kelopakku berjuang melawan rasa kantuk. Suara Ummah teman sekamarku mampu membangkitkanku. Sehabis ngaji bandongan subuh tadi, aku tertidur sangat pulas sampai kulupa kalau hari ini jadwal kamarku membersihkan Dhalem. Segera bangkit, cepat-cepat ambil wudhu lalu memakai kerudung.
Teman-teman sekamarku sudah mulai membersihkan tempat milik pengasuh ponpesku. Kupercepat langkahku, tak enak dengan yang lain. Karena aku terlambat, kudapat sisa bagian di ruang tamu depan. Ketika baru mendapatkan 5 sapuan terjadi, tiba-tiba terdengar seseorang mengucapkan salam,
“Wa’alaikum salam..,” jawabku sambil melihat siapa penutur salam tadi. Ting!, Ustad thoriq. Allah..!. Deg!. Malu sekali aku melihatnya.
Punten Mbak, sudah mengganggu, mau bertemu Abah...” lanjutnya di sela salah tingkahku.
“Oh,,, nggeh, monggo Ustad...” perasaan aneh itu pun muncul kembali. Pelan-pelan kulanjutkan sapuanku, Ustad Thoriq pun ke ruang tamu dalem menunggu Abah keluar. Kutundukkan kepalaku sesekali  mencuri pandang geraknya. Kualihkan pandanganku ketika ia juga melihatku. Kuulangi beberapa kali lagi. Lebih dari 3 kali mungkin. Sehingga sapuanku terabaikan sendiri. Lantai bagian depan dhalem ternyata masih kotor.
“Han?!” tegur Ummah. Aku terkaget membuat pegangan sapuku terjatuh. Plak!. Suara jatuhnya sampai membuat Ustad Thoriq menoleh kepadaku. Malu dilihatnya aku pun dengan cepat mengambil sapu yang terjatuh tadi lalu pergi. Yah, kubiarkan bagian lantai yang masih kotor itu.
JJJ
            Hari ini adalah hari peringatan takziran dilaksanakan. Semua santri yang terkena takziran sibuk dengan hukuman masing-masing. Seperti diriku, tak henti-hentinya mulutku komat-kamit melafazkan bait-bait Imrithi. Dua belas bait bab Mubtada’ dan khobar siap untuk saya setorkan. Kuambil kerudung yang baru tadi sore kusetrika diloker bajuku, kukenakan di kepalaku, dan tak lupa kupoles sedikit make up  ke wajahku. Entah, mau menjalankan hukuman terasa seperti mendapatkan sebuah anugrah, senang sekali hatiku saat ini.
            Bersama santri putri yang lain, kami menuju ke aula ponpes Al-Falah yang tak jauh tempatnya dari kamar-kamar santri. Kami memulai menunggu kedatangan sosok yang sangat kita harapkan itu. Ustad Thoriq pun nampak berjalan menuju tempat di mana kami berada. Tak berlama, prosesi penyetoran hafalan bait-bait Imrithi segera dimulai. Tanpa sadar, santri putri terlihat satu persatu mulai menghilang, tanpa tersadar pula aku mendapat urutan yang terakhir.
            Tidak! Pikirku. Sekarang giiranku maju, dengan tarikan napas panjang sambil memejamkan mata, kucoba menghilangkan grogiku. Kubuka mulutku lalu mulai kulafalkan semua hafalan Imrithi bab Mubtada’ dan Khobar itu. Ustad Thoriq sedari tadi hanya menatapku diam. Setelah semua selesai, tiba-tiba ia bertanya kepadaku,
“Terima kasih, atas hafalannya. Sekarang, karena takziranmu di level 2, saya ingin kamu menjelaskan bait yang kelima.” pintanya kepadaku yang masih menunduk malu.
Enggeh Ustad, Mubtada’ itu ada dua bagian yaitu mubtada’ berupa Isim dlahir seperti contoh yang sudah lewat, dan ada yang berupa isim Dlamir seperti lafaz Anta Ahlul LilQodlo.” jawabku.
            “Silakan dimaknai. Apa maksudnya?” Ustad Thoriq memintaku kembali, kali ini keringatku mulai menetes.  Diruangan itu hanya tinggal kami berdua.
Anta: utawi siro, Ahlun LilQodlo: iku ahli marang mutusi antarane manungso. Artinya adalah Kamu itu ahli menghukumi.” akhirnya kubisa mengingat keterangan yang sebelumnya sudah diajarkan oleh Ustad Thoriq.
“Emm,,, sebenarnya kamu itu sudah mampu memahami setiap bait-bait dalam Imrithi ini, sayang, kamu kebanyakan bolos dalam mengikuti pelajaran Madin. Kalau boleh saya sarankan, kamu lebih rajin lagi ya belajarnya, simpan dan jaga hafalan Imrithimu, taruh di lubuk hatimu, dalami makna indahnya dan selalu cintailah dia. Bagaimana?” nasihat Ustad Thoriq kemudian.
Enggeh.., Ustad. Matur nuwun...” lidahku terasa kaku untuk digerakkan. Untaian tuturnya membuat hati semakin nyaman, semakin melayang tinggi khayalan demi khayalanku. Perasaan yang indah namun aneh kembali mengalun lembut di hati ini. Senang memang saat diriku berada didekatnya. Andai cinta hadir di hatinya, pikirku.
JJJ
Udara malam ini serasa memasuki sendi-sendi tulang rusukku. Di balik tirai kamarku, di atas kesunyian ruang ini, kulirik kitab Imrithi yang berada di atas meja tidak jauh dari tempatku berada, ku tak tahu apa yang kupikirkan. Desiranya mengantarkanku kembali mengingat perbincangan hangat yang tak sengaja ku dengar kemarin. Antara Abah pengasuh, putri Abah dan Ustad Thoriq. Ketika diri ini diminta bantuan ndhalem untuk membuatkan suguhan buat mereka. Kebimbangan dan kelemahan hati ini semakin memuncak saat santri-santri heboh membicarakan kabar Ustad Thoriq akan menikah dengan putri pengasuh pondok kami. Diamku tak menyimpan banyak harapan, air mata ini hanya bisa menetes. Hatiku pilu mendengarnya. Cinta yang tak sewajarnya ini kutapis dan tak pernah kuungkapkan.
Tiba-tiba Ummah datang dan melihatku yang di dekat jendela. Kuusap linangan air mataku sebelum ia menghampiri.
“Aku mengerti yang kau rasakan Han, sabar, mungkin bukan jodohmu.” kata  Ummah sambil mengelus pundakku. Hanya senyum yang kugunakan untuk menjawabnya. Ummah mengerti sedikit banyak apa yang tengah kurasakan.  Dia biasa mendengarkan curhatanku selama ini. Kami berpelukan, mengurangi beban yang kini sedang membuat hatiku tak menentu.
“Terima kasih Umm.” jawabku kemudian masih dalam dekapannya.
JJJ
Kujalani hari-hari di ponpes seperti biasanya. Melakukan kesibukkan dengan berbagai kegiatan, berharap bisa melupakan Ustad Thoriq. Seperti hari ini, jadwalku kembali membershikan ruang dalem. Saat kusapukan sapunya, bayangan sekitar lima bulan yang lalu, seorang yang saat itu mengucapkan salam hadir kembali. Hatiku pun getir kembali.
Nduk Hana?”
Aku terkaget, tak asing dengan suara itu, suara pengasuh ponpesku.  Ada apa Abah memanggilku, apa yang sudah kuperbuat, benakku berbicara sendiri. Lalu, segera kutaruh sapu di pojok depan dalem terlebih dahulu,
“Dalem Bah…” sambil lari kecil ke ruang tamu dalem tempat Abah duduk.
“Sini Nduk, nanti malam ada yang mau bertemu denganmu Nduk, bakda Isya langsung ke dalem yo..?” pinta Abah.
“Oh I Bah…” jawabku sambil menunduk tak menentu. Takut terkesan menolak Abah, kuikuti saja perintah beliau. Meskipun hati ini penasaran siapa yang hendak ingin bertemu denganku. Orang tuaku mungkin, terkaku.
JJJ
Kulangkahkan kakiku menuju dalem. Dengan rasa penasaran yang sangat tinggi, kumencoba menepis segala yang akan terjadi padaku nanti. Hatiku semakin tak mengerti saat kulihat Abah sudah bersama dua orang. Ustad Thoriq dan putri Abah, Shofwa.
“Assalamu’alaikum…” salamku. Lalu kucium tangan Mbak Shofwa.
Mereka serempak menjawab salamku, perasaan ini nambah tak menentu ketika kulihat Ustad Thoriq tersenyum kepadaku.
“Duduk Nduk, sini dekat Mbak Shofwa. Langsung saja kita bicarakan hal ini Nang Bagus Thoriq yo..?” pinta Abah langsung memulai prolognya. Kudengarkan nasihat-nasihat bijak beliau dengan khidmat, sambil sesekali menganggukkan kepala.
“Jadi, bagaimana Nduk Hana?” Tanya Abah kepadaku yang masih dalam pandangan kebawah.
Nggeh Bah, jika ini semua untuk kebaikkan, dan tak ada yang dirugikan, kuterima pinangannya Ustad Thoriq atas takzim dan cintaku kepada beliau.” Jawabku dengan gemetar.
Ternyata kabar putrid Abah yang akan menikah dengan Ustad Thoriq selama ini hanya isu. Abah memang ingin putrinya menikah dengan Ustad Thoriq, namun, karena Ustad Thoriq sudah jatuh hati kepadaku, Ustad Thoriq tak sanggup menerimanya. Abah pun mengerti dan meridhoi pilihan Ustad Thoriq itu.
“Iya Nduk, mau mahar apa Nduk Hana? Ingat ya, wanita yang baik itu maharnya yang sedikit, bukan begitu Nang  Bagus Thoriq?” gurau Abah kepada kami.
Enggeh Bah…” jawab kami serempak.
Kami pun hanya bisa berpandangan malu, ternyata Ustad Thoriq akan menjadi imamku. Menjadi pelindungku saatku kedinginan suatu nanti. Terima kasih ya Allah, Engkau ciptakan sesosok kaum Adam yang sempurna, kemudian Engkau pertemukan kami, dan Engkau tautkan cinta yang bersemayam di hati kami. Tak hentinya kuucap syukur dan doa dalam hati.
“Kula ingin maharnya membacakan bait-bait Imrithi bab Mubtada’ dan Khobar.” Ungkapku kepada Abah. Ustad Thoriq pun hanya tersenyum,
“Haha…, yo yo Nduk, piye Nang Bagus Thoriq?” sembari melirik Ustad Thoriq.
“Jika itu yang diinginkan calon bidadariku, saya akan bersedia Abah, Insya Allah.” Jawab Ustad Thoriq dengan pandangan ke arahku.
“Katakan kepada Nduk Hana to..”pinta Abah sambil tersenyum kepadaku.
“Kupinang kau dengan bait Imrithi, maukah kau menjadi pemilik tulang rusukku ini Dek Hana?” kata Ustad Thoriq kepadaku.
Aku hanya bisa tersenyum bahagia.
JJJ


Menyayangi Hewan Kesayangan Rasulullah                 Kucing merupakan hewan yang sering berada di sekitar kehidupan dan lingkungan manu...