Minggu, 31 Agustus 2014

CINTA DALAM IMRITHI Aim El Huroiroh

CINTA DALAM IMRITHI
Aim El Huroiroh

Alhamdulillahilladzi qod wafaqo # Lil’ilmi khoiri kholqihi walittuqo
Hatta nahat qulubuhum linahwihi # ...

Terdengar nadzoman imrithi yang hampir mirip dengan musik simponi yang dipadukan dengan suara santri putra dan santri putri Ponpes Al-Falah. Sayangnya, bukan musik biola atau piano yang  mereka mainkan, beberapa terbang, bass, dan balasik yang mereka kolaborasikan. Aku dan tiga santri putri menuju ke sumber suara itu. Lagi-lagi aku terlambat.
Ustad Thoriq telah berada di ruang kelas 2, kelas Madinku lebih dari 15 menit yang lalu. Sembari menunduk dan mengucapkan salam, aku pelan-pelan masuk. Tidak heran makhluk lainnya melihat kebiasaan burukku. Ustad Thoriq pun melanjutkan pidatonya. Ups. Bukan pidato, menjelaskan pelajarannya. Malam ini ia mengampu pelajaran imrithi. Mungkin pelajaran yang lebih aku favoritkan dibanding dengan pelajaran yang lain.
“Ada yang tahu apa itu Kalam menurut bait ini?” tanya Ustad Thoriq kemudian.
Terlihat hanya beberapa santri putri yang berbalas-balasan pandang dan suara bisik-bisik dari mulut mereka.
Aku pun mulai mencari kata-kata untuk kurangkai menjawab pertanyaan tadi. Kuacungkan tangan dan kujawab dengan semua pengetahuanku. Tak sengaja mata kami bertemu. Deg. Hatiku bergetar aneh. Ada perasaan yang tak seperti biasanya. Ada apa dengan tatapan Ustad Thoriq? Ampun, hanya kebetulan kali, pikirku.
JJJ
Seperti biasa, setelah berjamaah di aula putri, kubawa diriku ke kamar. Bilik kecil dan sempit saksi bisu di mana kudalami ilmu agama di Ponpes Al-Falah ini. Tiba-tiba suara santri putri bergerumuh di depan papan informasi. Sebagian masih ada yang lari-lari kecil menuju kerumunan itu. Terlihat dari wajah-wajah mereka buram seakan terjadi sesuatu dengan mereka.
“Aduh, aku takziran ro’an bak mandi bulan ini...” ucap salah satu santri.
Terdengar  sedikit dari celoteh-celoteh mereka serasa mampir di telingaku. Aku yakin dengan reputasi burukku. Pasti kena takzir seperti bulan-bulan lalu. Takziran Madin selalu siap saya hadapi di akhir-akhir bulan seperti ini. lalu, dengan santai kuikut melihat, walaupun sudah yakin namaku sudah ada di sana. Benar, di level 2 aku menempati posisi. Yah, meningkat lagi, menghafalkan semua bait Imrithi bab Mubtada’ dan Khobar kepada ustad-ustadnya masing-masing. Tidak! Ustad Thoriq?!
JJJ
            “Bangun Hanna.., monggo piket ten ndalem...
Dengan berat kubuka kelopakku berjuang melawan rasa kantuk. Suara Ummah teman sekamarku mampu membangkitkanku. Sehabis ngaji bandongan subuh tadi, aku tertidur sangat pulas sampai kulupa kalau hari ini jadwal kamarku membersihkan Dhalem. Segera bangkit, cepat-cepat ambil wudhu lalu memakai kerudung.
Teman-teman sekamarku sudah mulai membersihkan tempat milik pengasuh ponpesku. Kupercepat langkahku, tak enak dengan yang lain. Karena aku terlambat, kudapat sisa bagian di ruang tamu depan. Ketika baru mendapatkan 5 sapuan terjadi, tiba-tiba terdengar seseorang mengucapkan salam,
“Wa’alaikum salam..,” jawabku sambil melihat siapa penutur salam tadi. Ting!, Ustad thoriq. Allah..!. Deg!. Malu sekali aku melihatnya.
Punten Mbak, sudah mengganggu, mau bertemu Abah...” lanjutnya di sela salah tingkahku.
“Oh,,, nggeh, monggo Ustad...” perasaan aneh itu pun muncul kembali. Pelan-pelan kulanjutkan sapuanku, Ustad Thoriq pun ke ruang tamu dalem menunggu Abah keluar. Kutundukkan kepalaku sesekali  mencuri pandang geraknya. Kualihkan pandanganku ketika ia juga melihatku. Kuulangi beberapa kali lagi. Lebih dari 3 kali mungkin. Sehingga sapuanku terabaikan sendiri. Lantai bagian depan dhalem ternyata masih kotor.
“Han?!” tegur Ummah. Aku terkaget membuat pegangan sapuku terjatuh. Plak!. Suara jatuhnya sampai membuat Ustad Thoriq menoleh kepadaku. Malu dilihatnya aku pun dengan cepat mengambil sapu yang terjatuh tadi lalu pergi. Yah, kubiarkan bagian lantai yang masih kotor itu.
JJJ
            Hari ini adalah hari peringatan takziran dilaksanakan. Semua santri yang terkena takziran sibuk dengan hukuman masing-masing. Seperti diriku, tak henti-hentinya mulutku komat-kamit melafazkan bait-bait Imrithi. Dua belas bait bab Mubtada’ dan khobar siap untuk saya setorkan. Kuambil kerudung yang baru tadi sore kusetrika diloker bajuku, kukenakan di kepalaku, dan tak lupa kupoles sedikit make up  ke wajahku. Entah, mau menjalankan hukuman terasa seperti mendapatkan sebuah anugrah, senang sekali hatiku saat ini.
            Bersama santri putri yang lain, kami menuju ke aula ponpes Al-Falah yang tak jauh tempatnya dari kamar-kamar santri. Kami memulai menunggu kedatangan sosok yang sangat kita harapkan itu. Ustad Thoriq pun nampak berjalan menuju tempat di mana kami berada. Tak berlama, prosesi penyetoran hafalan bait-bait Imrithi segera dimulai. Tanpa sadar, santri putri terlihat satu persatu mulai menghilang, tanpa tersadar pula aku mendapat urutan yang terakhir.
            Tidak! Pikirku. Sekarang giiranku maju, dengan tarikan napas panjang sambil memejamkan mata, kucoba menghilangkan grogiku. Kubuka mulutku lalu mulai kulafalkan semua hafalan Imrithi bab Mubtada’ dan Khobar itu. Ustad Thoriq sedari tadi hanya menatapku diam. Setelah semua selesai, tiba-tiba ia bertanya kepadaku,
“Terima kasih, atas hafalannya. Sekarang, karena takziranmu di level 2, saya ingin kamu menjelaskan bait yang kelima.” pintanya kepadaku yang masih menunduk malu.
Enggeh Ustad, Mubtada’ itu ada dua bagian yaitu mubtada’ berupa Isim dlahir seperti contoh yang sudah lewat, dan ada yang berupa isim Dlamir seperti lafaz Anta Ahlul LilQodlo.” jawabku.
            “Silakan dimaknai. Apa maksudnya?” Ustad Thoriq memintaku kembali, kali ini keringatku mulai menetes.  Diruangan itu hanya tinggal kami berdua.
Anta: utawi siro, Ahlun LilQodlo: iku ahli marang mutusi antarane manungso. Artinya adalah Kamu itu ahli menghukumi.” akhirnya kubisa mengingat keterangan yang sebelumnya sudah diajarkan oleh Ustad Thoriq.
“Emm,,, sebenarnya kamu itu sudah mampu memahami setiap bait-bait dalam Imrithi ini, sayang, kamu kebanyakan bolos dalam mengikuti pelajaran Madin. Kalau boleh saya sarankan, kamu lebih rajin lagi ya belajarnya, simpan dan jaga hafalan Imrithimu, taruh di lubuk hatimu, dalami makna indahnya dan selalu cintailah dia. Bagaimana?” nasihat Ustad Thoriq kemudian.
Enggeh.., Ustad. Matur nuwun...” lidahku terasa kaku untuk digerakkan. Untaian tuturnya membuat hati semakin nyaman, semakin melayang tinggi khayalan demi khayalanku. Perasaan yang indah namun aneh kembali mengalun lembut di hati ini. Senang memang saat diriku berada didekatnya. Andai cinta hadir di hatinya, pikirku.
JJJ
Udara malam ini serasa memasuki sendi-sendi tulang rusukku. Di balik tirai kamarku, di atas kesunyian ruang ini, kulirik kitab Imrithi yang berada di atas meja tidak jauh dari tempatku berada, ku tak tahu apa yang kupikirkan. Desiranya mengantarkanku kembali mengingat perbincangan hangat yang tak sengaja ku dengar kemarin. Antara Abah pengasuh, putri Abah dan Ustad Thoriq. Ketika diri ini diminta bantuan ndhalem untuk membuatkan suguhan buat mereka. Kebimbangan dan kelemahan hati ini semakin memuncak saat santri-santri heboh membicarakan kabar Ustad Thoriq akan menikah dengan putri pengasuh pondok kami. Diamku tak menyimpan banyak harapan, air mata ini hanya bisa menetes. Hatiku pilu mendengarnya. Cinta yang tak sewajarnya ini kutapis dan tak pernah kuungkapkan.
Tiba-tiba Ummah datang dan melihatku yang di dekat jendela. Kuusap linangan air mataku sebelum ia menghampiri.
“Aku mengerti yang kau rasakan Han, sabar, mungkin bukan jodohmu.” kata  Ummah sambil mengelus pundakku. Hanya senyum yang kugunakan untuk menjawabnya. Ummah mengerti sedikit banyak apa yang tengah kurasakan.  Dia biasa mendengarkan curhatanku selama ini. Kami berpelukan, mengurangi beban yang kini sedang membuat hatiku tak menentu.
“Terima kasih Umm.” jawabku kemudian masih dalam dekapannya.
JJJ
Kujalani hari-hari di ponpes seperti biasanya. Melakukan kesibukkan dengan berbagai kegiatan, berharap bisa melupakan Ustad Thoriq. Seperti hari ini, jadwalku kembali membershikan ruang dalem. Saat kusapukan sapunya, bayangan sekitar lima bulan yang lalu, seorang yang saat itu mengucapkan salam hadir kembali. Hatiku pun getir kembali.
Nduk Hana?”
Aku terkaget, tak asing dengan suara itu, suara pengasuh ponpesku.  Ada apa Abah memanggilku, apa yang sudah kuperbuat, benakku berbicara sendiri. Lalu, segera kutaruh sapu di pojok depan dalem terlebih dahulu,
“Dalem Bah…” sambil lari kecil ke ruang tamu dalem tempat Abah duduk.
“Sini Nduk, nanti malam ada yang mau bertemu denganmu Nduk, bakda Isya langsung ke dalem yo..?” pinta Abah.
“Oh I Bah…” jawabku sambil menunduk tak menentu. Takut terkesan menolak Abah, kuikuti saja perintah beliau. Meskipun hati ini penasaran siapa yang hendak ingin bertemu denganku. Orang tuaku mungkin, terkaku.
JJJ
Kulangkahkan kakiku menuju dalem. Dengan rasa penasaran yang sangat tinggi, kumencoba menepis segala yang akan terjadi padaku nanti. Hatiku semakin tak mengerti saat kulihat Abah sudah bersama dua orang. Ustad Thoriq dan putri Abah, Shofwa.
“Assalamu’alaikum…” salamku. Lalu kucium tangan Mbak Shofwa.
Mereka serempak menjawab salamku, perasaan ini nambah tak menentu ketika kulihat Ustad Thoriq tersenyum kepadaku.
“Duduk Nduk, sini dekat Mbak Shofwa. Langsung saja kita bicarakan hal ini Nang Bagus Thoriq yo..?” pinta Abah langsung memulai prolognya. Kudengarkan nasihat-nasihat bijak beliau dengan khidmat, sambil sesekali menganggukkan kepala.
“Jadi, bagaimana Nduk Hana?” Tanya Abah kepadaku yang masih dalam pandangan kebawah.
Nggeh Bah, jika ini semua untuk kebaikkan, dan tak ada yang dirugikan, kuterima pinangannya Ustad Thoriq atas takzim dan cintaku kepada beliau.” Jawabku dengan gemetar.
Ternyata kabar putrid Abah yang akan menikah dengan Ustad Thoriq selama ini hanya isu. Abah memang ingin putrinya menikah dengan Ustad Thoriq, namun, karena Ustad Thoriq sudah jatuh hati kepadaku, Ustad Thoriq tak sanggup menerimanya. Abah pun mengerti dan meridhoi pilihan Ustad Thoriq itu.
“Iya Nduk, mau mahar apa Nduk Hana? Ingat ya, wanita yang baik itu maharnya yang sedikit, bukan begitu Nang  Bagus Thoriq?” gurau Abah kepada kami.
Enggeh Bah…” jawab kami serempak.
Kami pun hanya bisa berpandangan malu, ternyata Ustad Thoriq akan menjadi imamku. Menjadi pelindungku saatku kedinginan suatu nanti. Terima kasih ya Allah, Engkau ciptakan sesosok kaum Adam yang sempurna, kemudian Engkau pertemukan kami, dan Engkau tautkan cinta yang bersemayam di hati kami. Tak hentinya kuucap syukur dan doa dalam hati.
“Kula ingin maharnya membacakan bait-bait Imrithi bab Mubtada’ dan Khobar.” Ungkapku kepada Abah. Ustad Thoriq pun hanya tersenyum,
“Haha…, yo yo Nduk, piye Nang Bagus Thoriq?” sembari melirik Ustad Thoriq.
“Jika itu yang diinginkan calon bidadariku, saya akan bersedia Abah, Insya Allah.” Jawab Ustad Thoriq dengan pandangan ke arahku.
“Katakan kepada Nduk Hana to..”pinta Abah sambil tersenyum kepadaku.
“Kupinang kau dengan bait Imrithi, maukah kau menjadi pemilik tulang rusukku ini Dek Hana?” kata Ustad Thoriq kepadaku.
Aku hanya bisa tersenyum bahagia.
JJJ


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menyayangi Hewan Kesayangan Rasulullah                 Kucing merupakan hewan yang sering berada di sekitar kehidupan dan lingkungan manu...