CINTA DALAM IMRITHI
Aim El Huroiroh
Alhamdulillahilladzi
qod wafaqo # Lil’ilmi khoiri kholqihi walittuqo
Hatta nahat
qulubuhum linahwihi # ...
Terdengar nadzoman imrithi yang hampir mirip dengan musik
simponi yang dipadukan dengan suara santri putra dan santri putri Ponpes
Al-Falah. Sayangnya, bukan musik biola atau piano yang mereka mainkan, beberapa terbang, bass, dan
balasik yang mereka kolaborasikan. Aku dan tiga santri putri menuju ke sumber
suara itu. Lagi-lagi aku terlambat.
Ustad Thoriq telah berada di ruang kelas 2, kelas Madinku
lebih dari 15 menit yang lalu. Sembari menunduk dan mengucapkan salam,
aku pelan-pelan masuk. Tidak heran makhluk lainnya melihat kebiasaan burukku.
Ustad Thoriq pun melanjutkan pidatonya. Ups. Bukan pidato, menjelaskan
pelajarannya. Malam ini ia mengampu pelajaran imrithi. Mungkin pelajaran
yang lebih aku favoritkan dibanding dengan pelajaran yang lain.
“Ada yang tahu apa itu Kalam menurut bait ini?” tanya
Ustad Thoriq kemudian.
Terlihat hanya beberapa santri putri yang
berbalas-balasan pandang dan suara bisik-bisik dari mulut mereka.
Aku pun mulai mencari kata-kata untuk kurangkai menjawab
pertanyaan tadi. Kuacungkan tangan dan kujawab dengan semua pengetahuanku. Tak
sengaja mata kami bertemu. Deg. Hatiku bergetar aneh. Ada perasaan yang tak
seperti biasanya. Ada apa dengan tatapan Ustad Thoriq? Ampun, hanya kebetulan
kali, pikirku.
JJJ
Seperti biasa, setelah berjamaah di aula putri, kubawa
diriku ke kamar. Bilik kecil dan sempit saksi bisu di mana kudalami ilmu agama
di Ponpes Al-Falah ini. Tiba-tiba suara santri putri bergerumuh di depan papan
informasi. Sebagian masih ada yang lari-lari kecil menuju kerumunan itu.
Terlihat dari wajah-wajah mereka buram seakan terjadi sesuatu dengan mereka.
“Aduh, aku takziran ro’an bak mandi bulan ini...”
ucap salah satu santri.
Terdengar sedikit
dari celoteh-celoteh mereka serasa mampir di telingaku. Aku yakin dengan
reputasi burukku. Pasti kena takzir seperti bulan-bulan lalu. Takziran
Madin selalu siap saya hadapi di akhir-akhir bulan seperti ini. lalu, dengan
santai kuikut melihat, walaupun sudah yakin namaku sudah ada di sana. Benar, di
level 2 aku menempati posisi. Yah, meningkat lagi, menghafalkan semua bait
Imrithi bab Mubtada’ dan Khobar kepada ustad-ustadnya masing-masing. Tidak!
Ustad Thoriq?!
JJJ
“Bangun Hanna.., monggo
piket ten ndalem...”
Dengan berat kubuka kelopakku berjuang melawan rasa kantuk. Suara Ummah
teman sekamarku mampu membangkitkanku. Sehabis ngaji bandongan subuh tadi, aku
tertidur sangat pulas sampai kulupa kalau hari ini jadwal kamarku membersihkan
Dhalem. Segera bangkit, cepat-cepat ambil wudhu lalu memakai kerudung.
Teman-teman sekamarku sudah mulai membersihkan tempat
milik pengasuh ponpesku. Kupercepat langkahku, tak enak dengan yang lain.
Karena aku terlambat, kudapat sisa bagian di ruang tamu depan. Ketika baru
mendapatkan 5 sapuan terjadi, tiba-tiba terdengar seseorang mengucapkan salam,
“Wa’alaikum salam..,” jawabku sambil melihat siapa
penutur salam tadi. Ting!, Ustad thoriq. Allah..!. Deg!. Malu sekali aku
melihatnya.
“Punten Mbak, sudah mengganggu, mau bertemu
Abah...” lanjutnya di sela salah tingkahku.
“Oh,,, nggeh, monggo Ustad...” perasaan aneh itu
pun muncul kembali. Pelan-pelan kulanjutkan sapuanku, Ustad Thoriq pun ke ruang
tamu dalem menunggu Abah keluar. Kutundukkan kepalaku sesekali mencuri pandang geraknya. Kualihkan
pandanganku ketika ia juga melihatku. Kuulangi beberapa kali lagi.
Lebih dari 3 kali mungkin. Sehingga sapuanku terabaikan sendiri. Lantai bagian
depan dhalem ternyata masih kotor.
“Han?!” tegur Ummah. Aku terkaget membuat pegangan sapuku
terjatuh. Plak!. Suara jatuhnya sampai membuat Ustad Thoriq menoleh kepadaku.
Malu dilihatnya aku pun dengan cepat mengambil sapu yang terjatuh tadi lalu
pergi. Yah, kubiarkan bagian lantai yang masih kotor itu.
JJJ
Hari ini adalah hari
peringatan takziran dilaksanakan. Semua santri yang terkena takziran
sibuk dengan hukuman masing-masing. Seperti diriku, tak henti-hentinya mulutku
komat-kamit melafazkan bait-bait Imrithi. Dua belas bait bab Mubtada’ dan
khobar siap untuk saya setorkan. Kuambil kerudung yang baru tadi sore kusetrika
diloker bajuku, kukenakan di kepalaku, dan tak lupa kupoles sedikit make
up ke wajahku. Entah, mau menjalankan
hukuman terasa seperti mendapatkan sebuah anugrah, senang sekali hatiku saat
ini.
Bersama santri putri yang
lain, kami menuju ke aula ponpes Al-Falah yang tak jauh tempatnya dari
kamar-kamar santri. Kami memulai menunggu kedatangan sosok yang sangat kita harapkan
itu. Ustad Thoriq pun nampak berjalan menuju tempat di mana kami berada. Tak
berlama, prosesi penyetoran hafalan bait-bait Imrithi segera dimulai. Tanpa
sadar, santri putri terlihat satu persatu mulai menghilang, tanpa tersadar pula
aku mendapat urutan yang terakhir.
Tidak! Pikirku. Sekarang
giiranku maju, dengan tarikan napas panjang sambil memejamkan mata, kucoba
menghilangkan grogiku. Kubuka mulutku lalu mulai kulafalkan semua hafalan
Imrithi bab Mubtada’ dan Khobar itu. Ustad Thoriq sedari tadi hanya menatapku
diam. Setelah semua selesai, tiba-tiba ia bertanya kepadaku,
“Terima kasih, atas hafalannya. Sekarang, karena takziranmu
di level 2, saya ingin kamu menjelaskan bait yang kelima.” pintanya kepadaku
yang masih menunduk malu.
“Enggeh Ustad, Mubtada’ itu ada dua bagian yaitu
mubtada’ berupa Isim dlahir seperti contoh yang sudah lewat, dan ada yang
berupa isim Dlamir seperti lafaz Anta Ahlul LilQodlo.” jawabku.
“Silakan
dimaknai. Apa maksudnya?” Ustad Thoriq memintaku kembali, kali ini keringatku
mulai menetes. Diruangan itu hanya
tinggal kami berdua.
“Anta: utawi siro, Ahlun LilQodlo: iku ahli
marang mutusi antarane manungso. Artinya adalah Kamu itu ahli menghukumi.”
akhirnya kubisa mengingat keterangan yang sebelumnya sudah diajarkan oleh Ustad
Thoriq.
“Emm,,, sebenarnya kamu itu sudah mampu
memahami setiap bait-bait dalam Imrithi ini, sayang, kamu kebanyakan bolos
dalam mengikuti pelajaran Madin. Kalau boleh saya sarankan, kamu lebih rajin
lagi ya belajarnya, simpan dan jaga hafalan Imrithimu, taruh di lubuk hatimu,
dalami makna indahnya dan selalu cintailah dia. Bagaimana?” nasihat Ustad
Thoriq kemudian.
“Enggeh.., Ustad. Matur nuwun...”
lidahku terasa kaku untuk digerakkan. Untaian tuturnya membuat hati semakin
nyaman, semakin melayang tinggi khayalan demi khayalanku. Perasaan yang indah
namun aneh kembali mengalun lembut di hati ini. Senang memang saat diriku
berada didekatnya. Andai cinta hadir di hatinya, pikirku.
JJJ
Udara malam ini serasa memasuki sendi-sendi tulang
rusukku. Di balik tirai kamarku, di atas kesunyian ruang ini, kulirik kitab
Imrithi yang berada di atas meja tidak jauh dari tempatku berada, ku tak tahu
apa yang kupikirkan. Desiranya mengantarkanku kembali mengingat perbincangan
hangat yang tak sengaja ku dengar kemarin. Antara Abah pengasuh, putri Abah dan
Ustad Thoriq. Ketika diri ini diminta bantuan ndhalem untuk membuatkan suguhan
buat mereka. Kebimbangan dan kelemahan hati ini semakin memuncak saat
santri-santri heboh membicarakan kabar Ustad Thoriq akan menikah dengan putri
pengasuh pondok kami. Diamku tak menyimpan banyak harapan, air mata ini hanya
bisa menetes. Hatiku pilu mendengarnya. Cinta yang tak sewajarnya ini kutapis
dan tak pernah kuungkapkan.
Tiba-tiba Ummah datang dan melihatku
yang di dekat jendela. Kuusap linangan air mataku sebelum ia menghampiri.
“Aku mengerti
yang kau rasakan
Han, sabar, mungkin bukan jodohmu.” kata Ummah sambil mengelus pundakku. Hanya senyum yang kugunakan untuk
menjawabnya. Ummah mengerti sedikit banyak apa yang tengah kurasakan. Dia biasa mendengarkan curhatanku selama ini.
Kami berpelukan, mengurangi beban yang kini sedang membuat hatiku tak menentu.
“Terima kasih Umm.”
jawabku kemudian masih dalam dekapannya.
JJJ
Kujalani hari-hari di ponpes seperti biasanya. Melakukan
kesibukkan dengan berbagai kegiatan, berharap bisa melupakan Ustad Thoriq.
Seperti hari ini, jadwalku kembali membershikan ruang dalem. Saat kusapukan
sapunya, bayangan sekitar lima bulan yang lalu, seorang yang saat itu
mengucapkan salam hadir kembali. Hatiku pun getir kembali.
“Nduk Hana?”
Aku terkaget, tak asing dengan suara itu, suara pengasuh
ponpesku. Ada apa Abah memanggilku, apa
yang sudah kuperbuat, benakku berbicara sendiri. Lalu, segera kutaruh sapu di
pojok depan dalem terlebih dahulu,
“Dalem Bah…” sambil lari kecil ke ruang tamu dalem tempat
Abah duduk.
“Sini Nduk, nanti malam ada yang mau bertemu
denganmu Nduk, bakda Isya langsung ke dalem yo..?” pinta Abah.
“Oh I
Bah…” jawabku sambil menunduk tak menentu. Takut terkesan menolak Abah, kuikuti saja perintah beliau. Meskipun hati
ini penasaran siapa yang hendak ingin bertemu denganku. Orang tuaku mungkin,
terkaku.
JJJ
Kulangkahkan kakiku menuju dalem. Dengan rasa penasaran
yang sangat tinggi, kumencoba menepis segala yang akan terjadi padaku nanti.
Hatiku semakin tak mengerti saat kulihat Abah sudah bersama dua orang. Ustad
Thoriq dan putri Abah, Shofwa.
“Assalamu’alaikum…” salamku. Lalu kucium tangan Mbak
Shofwa.
Mereka serempak menjawab salamku, perasaan ini nambah tak
menentu ketika kulihat Ustad Thoriq tersenyum kepadaku.
“Duduk Nduk, sini dekat Mbak Shofwa. Langsung saja
kita bicarakan hal ini Nang Bagus Thoriq yo..?” pinta Abah langsung memulai
prolognya. Kudengarkan nasihat-nasihat bijak beliau dengan khidmat, sambil
sesekali menganggukkan kepala.
“Jadi,
bagaimana Nduk Hana?” Tanya Abah kepadaku
yang masih dalam pandangan kebawah.
“Nggeh
Bah, jika ini semua untuk kebaikkan, dan tak ada yang dirugikan, kuterima pinangannya Ustad Thoriq atas takzim dan cintaku kepada beliau.”
Jawabku dengan gemetar.
Ternyata kabar putrid Abah
yang akan menikah dengan Ustad Thoriq selama ini hanya isu. Abah memang ingin putrinya menikah dengan Ustad Thoriq, namun, karena Ustad Thoriq sudah jatuh hati kepadaku,
Ustad Thoriq tak sanggup menerimanya.
Abah pun mengerti dan meridhoi pilihan Ustad Thoriq itu.
“Iya Nduk, mau mahar apa Nduk Hana? Ingat ya,
wanita yang baik itu maharnya yang sedikit, bukan begitu Nang Bagus Thoriq?” gurau Abah kepada
kami.
“Enggeh Bah…” jawab kami serempak.
Kami
pun hanya bisa berpandangan malu, ternyata Ustad Thoriq akan menjadi imamku. Menjadi pelindungku saatku kedinginan suatu nanti. Terima kasih ya Allah, Engkau ciptakan sesosok kaum Adam yang sempurna,
kemudian Engkau pertemukan kami, dan Engkau tautkan cinta yang bersemayam di
hati kami. Tak hentinya kuucap syukur dan doa dalam hati.
“Kula ingin maharnya membacakan bait-bait Imrithi bab
Mubtada’ dan Khobar.” Ungkapku kepada Abah. Ustad Thoriq pun hanya tersenyum,
“Haha…, yo yo Nduk, piye Nang Bagus
Thoriq?” sembari melirik Ustad Thoriq.
“Jika itu yang diinginkan calon bidadariku, saya akan
bersedia Abah, Insya Allah.” Jawab Ustad Thoriq dengan pandangan ke arahku.
“Katakan kepada Nduk Hana to..”pinta Abah sambil tersenyum kepadaku.
“Kupinang kau dengan
bait Imrithi, maukah kau menjadi pemilik tulang rusukku ini Dek Hana?” kata Ustad Thoriq kepadaku.
Aku hanya bisa tersenyum bahagia.
JJJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar