Kunafi’kan
Cintaku Demi Ridho-Mu
Oleh:
Aim_Ummu el huroir
Shodaqallohul’adhimm...
Kuakhiri untaian Kalam Illahi dengan kalimat pujian itu.
Lalu kututup mushaf demi mushaf dari juz Al-qur’anku. Sejenak kumenoleh ke
benda yang ada di sampingku, ku cari apa yang dibawa oleh nada dering pesan
masuk di hpku. Ada tiga pesan masuk yang belum terbaca di halaman muka ponsel
itu. Tiga nama yang tak asing lagi di benakku berderetan mengisi daftar inboxku.
Dari Syahid, Kak Ridho, dan Lutfi.
From: Syahid
Assalamu’alaikum..
sampun selesai dheresnya??
Kuabaikan terlebih dulu, kugerakkan jemariku
kembali ke pesan masuk yang lain.
From: Kk Ridho
Beri aku nasihat
yang indah dari Illahi oleh mu...
Sekali lagi, kubiarkan saja kalimat siratan
itu dan kubuka pesan terakhir yang belum terbaca dari benda yang sedang ku
pegang ini.
From: Lutfi J
Assalamu’alaikum
ukhti... ahlaman syadid... tetap teguh dalam penggapain dan penantian ya ‘Ainii...
barokalloh...
Kutarik
nafasku dengan pelan. Kukedipkan kedua mataku tanpa kumembukanya. Simpul senyum
kesenderianku malam ini masih cukup menentramkan peluh jiwaku. Aku percaya
hatiku hanya bisa nyaman dan tentram saat kucelotehkan elegi-elegi merdu dari
Kalam Illahi Rabbii, Al-qur’anku. Seraya kupejamkan dua kelopak indraku, indah
lebih indah dari keindahan yang pernah kurasakan. Tiga sms dari tiga laki-laki
yang selalu mengilingiku tak jua pernah sirna dari memori otakku. Malam ini
pun, hingga kubiarkan ragaku bersandar dan bermuara ke ruang mimpi dengan
sendirinya.
***
Seperti biasanya, setelah jama’ah maghrib yang terlaksana
di Aula putri Ponpes Nur Illahi. Ponpes yang mengenalkanku kepada sosok-sosok
itu. Syahid dan Lutfi. Kupijakan kakiku ke dhalem untuk menyetorkan hafalanku
semalam. Tiba-tiba kuterhenti pada sosok seorang kaum Adam di depanku. Aku
kenal sosok itu. Kutundukkan kepalaku sambil terpaksa kuhentikan pijakan langkahku.
Menunggu bayangan sosok itu keluar.
Dia pun keluar. Sekali lagi, kuhanya bisa menunduk dan
tak pernah mampu memandangnya. Akhirnya aku pun masuk untuk melaksanakan niatku
sedari tadi. Memang, ada yang beda di setiap aku berpapasan dengan orang itu.
Tapi, aku tetap malu untuk melihatnya. Mencegah kekhawatiran hati agar tidak
jatuh ke lembah asmara seseorang yang belum begitu kumengenalnya. Aku tak mau.
***
Jawaban
apa yang harus kuberikan? Tiba-tiba kejutan ini membingungkanku. Menawarkanku
untuk memilih dan memutuskan atau
mungkin hanya sekedar ujian bagiku. Syahid begitu baik denganku, setiap aku
sedang membutuhkan bantuan, dia datang dengan segala kemampuan dan
kerendahannya. Aku senang mempunyai sahabat seperti dia.
Cinta.
Cinta yang Syahid nyatakan ke hadapanku melalui pesan singkat itu, sesaat
menyirangiku, mengajakku ke sebuah jawaban yang bisa membuat Syahid tentunya,
senang terhadapku. Berbagai bisikan syaitan merdu dan panas bertahta di
pikiranku. Ku hanya mampu bersua jika aku belum siap dan ingin fokus dengan
hafalanku. Ma’afkan aku. Ini adalah pantangan kecil dengan jalan yang kupilih
sendiri. Ma’afkan aku sahabat...
***
Tak
selang dua hari, kak Ridho yang sebagai masa lalu, kini selalu datang dengan
syair-syair indahnya. Senang yang berbalut resah. Apa maksud dari sikapnya itu.
Sewaktu di SMA dulu, dia hanya sebatas kakak kelasku dan aku hanya sebagai adik
kelasnya. Hubungan yang kita jalani merupakan hal yang wajar dan apa adanya.
Namun, dengan cara yang berbeda, dia tiba-tiba juga muncul dengan perasaan
hatinya yang kedua kali Kak Ridho mengungkapkannya. Dia tetap baik meski kini
kita terpisah. Bagai tak kenal jarak dan waktu, hati ini pun tak pernah bisa
dipaksakan. Dan, untuk kesekian kalinya, aku hanya bisa berkata jika aku sudah
bahagia dengan pedang islam yang kubawa yang setiap detiknya selalu memberiku
kesejukan melaju ke oase fatamorgana ini. Ma’afkan aku Kak...
***
Entah.
Dunia akan menghinaku atau menertawakanku. Dua insan yang jelas berbeda. Yang
selalu ada, selalu baik, dan selalu mengulurkan segalanya buatku. Kutampis
begitu saja dengan ketulusan hati mereka yang mencintaiku. Inilah sebuah
komitmen mulia yang harus tetap kupegang dan kubawa selamanya, hingga pelaminan
nanti yang akan membahagiakanku, entah dengan siapapun jua.
Kujalani
lagi perputaran dunia ini dengan rutinitas seperti biasanya. Waktu, mengajakku
untuk selalu bertemu dengan dia. Lutfi yang juga ingin menjadi seorang Hamil
Illahi tak berasa bisa lebih dekat dengan hati ini. Pesan singkat yang selalu
sejuk dan terpana darinya, mampu membiarkanku larut ke dalam khayalan mimpi
indah bersamanya. Meski kutetap yakin pada keindahan Maha Latif dengan segala
lantunan suci yang akan terus kugenggam dan abadi ini. Namun inilah hati
manusia, senormal dengan makhluk yang lain, akan mendamba memadu kasih dengan
pujaan kekasih hatinya.
Lutfi,
begitu juga dengan aku. Memiliki cita-cita yang sama. Saling cinta dan merindu,
saling bermimpi. Begitulah, kita takkan bersatu. Sebelum Allah menautkan
masing-masing hati kami. Aku yang tak bisa meninggalkan amanah Allah ini.
Cintaku kepada Allah lebih besar dari segala yang lain. Kubiarkan cinta ini
berujung dari waktu ke waktu. Entah tulang rusuk ini milik siapa. Malaikat juga
tak pernah tahu siapa yang akan menyinari lembah hatiku. Lutfi atau siapa saja.
Aku cukup dengan keindahan luar biasa ini yang Allah selalu teruntukkan
untukku. Segalanya, kunafi’kan cinta dan segala yang menawanku demi mencapai
Ridho-Mu. Allah dengan segala Maha-Nya.
***