Kamis, 26 November 2015

Aku Masih Mencintaimu, Malam(?)

Aku mencintaimu, Malam

Sepi, beginilah hati berkata. Hampa, begitulah perasaan menjelma. Dingin, begitulah raga merasa. Malam, kau masih ingin bersamaku, kan? Menjadi teman ceritaku yang paling setia?
Bukanku kagum karena kau mampu menyihir dunia ini dengan pesonamu. Malam, ingatlah dirimu jika tanpa bintang atau bulan di angkasa sana, kau hanyalah sewaktu singkat yang cukup buat orang terlelap? Saat kau hadir, mata-mata manusia enggan  melihatmu. Mereka bahkan memejamkan mata hanya untuk menemui mimpi-mimpi semu, pagi pun akan membawanya menghilang.

Bersamamu hanya akan membuat raga merapuh oleh belaian angin milikmu. Kesehatan mereka menurun bukan? Banyak manusia yang tidak bertahan hanya untuk menikmatimu. Apa yang keliru? Jika apa yang kau miliki begitu indah untuk dirangkai. Bulan yang mewarnai lembaran langitmu, bintang yang menghiasi sudutmu, suara udara yang mesra, lampu-lampu berkelap-kelip di bawahmu, serta jangkrik yang sampai mampu terdengar di telinga. Menakjubkan! Lalu, sekali lagi apa yang tak benar? Bukankah itu terlalu indah jika dilewati begitu saja?

Malam, mengertilah aku takkan melupakanmu. Bersamamu adalah waktu yang berharga. Bersamamu, mampu mengusir kesendirian hati karena harapan berselimut sederet doa. Bersamamu, kumampu menggerakkan pena lalu merangkai kata per kata menjadi sebait kenangan manis tentangnya. Bersamamu, adalah alasan mengapa aku tak lekas beranjak darimu. Jangan kau tanya lagi kenapa aku mencintaimu, Malam(?).

Rabu, 25 November 2015

“Gugur Sebelum Musimnya”


“Esensi dari tugas ini adalah tanggung jawab kita” pesan yang selalu aku ingat dari beliau Abah Kiai Masyrokhan selama aku di sini. Tak terbayangkan sudah hampir dua tahun aku di dalamnya. Bagiku, mereka yang ada di sini adalah keluarga. Ada cinta, rindu, kekompakkan, keuletan, perjuangan, dan kebersamaan. Semua indah dan memiliki mimpi yang menjulang tinggi di angkasa. Kebersamaan, ya kebersamaan. Jika yang satu sakit, maka yang lain ikut sakit, berat sama dijinjing dan ringan sama dipikul begitu pepatah kuno mengatakan dengan penuh makna.
Dari jurusan yang berbeda, daerah asal yang tak sama, hobi yang berbeda, semua bersatu dalam keluarga kecil itu. Keluarga yang dibentuk karena kami memiliki mimpi yang sama, ingin bisa menulis. Ya, mimpi sederhana yang memiliki banyak harapan di dalamnya, dan harapan itu bagai menara-menara yang menjulang tinggi. Aku yakin, kami semua akan bisa mewujudkannya. Aku yakin masih akan bisa mewujudkannya, meski cita-citaku dulu sama dengan cita-cita Ahmad Fuadi yang ingin ke ITB tidak terwujud, tapi aku yakin masih akan ada banyak mimpi di sana. Lewat menulisnya, dia kini menjadi seorang yang penuh inspiratif, penerima 8 beasiswa luar negeri, menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi, dan mendirikan Komunitas Menara, sebuah lembaga sosial untuk membantu pendidikan orang yang tidak mampu dengan basis sukarelawan. Aku ingin itu terwujud di sini. Jika satu orang memilki satu menara, maka kita tak hanya mempunyai lima menara. Kita bahkan bisa memilki berpuluh menara menjulang tinggi, dan menara-menara itu adalah mimpi kita sendiri.
Tentu, dan memang tak semudah mengoceh seperti yang saya celotehkan, semua butuh perjuangan, hati yang selalu sabar dan pantang menyerah, tidak takut mencoba, dan mau menyempatkan. Alasan-alasan ketika ditagih tulisannya saat sudah deadline sudah menjadi makanan sehari-hari dalam dunia menulis di sini. Namun, kenyataannya kita mampu menghasilkan majalah dinding Madina (dulu), Buletin Embun dua kali setiap bulannya, dan kita bisa menciptakan majalah Aswaja 5 edisi berturut-turut. PERCAYA, kan? KITA itu BISA! Ingat mantra ajaib dari Abah, “Mau, Mampu, dan Menyempatkan”. Kita pasti akan bisa melewatinya. Aku hanya ingin kalian bisa bertahan di sini, mantra itu jika kita pegang terus, kalian pasti akan bisa. Kalian adalah orang yang selalu mewarnai hatiku, tanpa kalian hidupku jauh tak bermakna. Aku masih yakin kita keluarga di sini karena aku yakin masih ada CINTA di sini (nunjuk hati J).
Semua itu tak terbayangkan ketika salah satu sahabatku membawa dua pesan itu. Dua pesan dari sahabat kita sendiri, sahabat yang selalu aku rindukan goresan-goresan tintanya untuk menyapa dunia.  Perih dan pedih memang tak ada bedanya. Sedih. Setelah kutahu, daun yang satu itu telah gugur karena dipetik, kini dua daun yang lain seakan tergoyahkan oleh hantaman angin yang sangat kubenci. Angin yang selalu menggugurkan daun-daun itu, meski tak mungkin kusalahkan. Begitu juga setahun yang lalu, awalnya hanya satu, kemudian dua, dan pernah ada harapan semoga daun itu adalah daun yang terakhir. Namun, musim gugur ternyata hadir di saat hati sedang pilu menantikan musim semi. Musim gugur yang tak selalu kuinginkan. Musim gugur yang menjatuhkan daun-daun yang masih hijau terserak angin. Musim gugur yang mengundang perpisahan, musim gugur yang masih selalu tak kuinginkan. Semoga, esok saat musim semi, daun-daun itu akan semakin berwarna-warni. 

Perhatian itu, Gimana Sih?


Ini bukan masalah bagaimana ia bersikap keras, ini bukan masalah bagaimana ia membandingkan kesehatanku dengan orang gila, ini bukan masalah bagaimana cara ia berpikir, tapi jauh dari itu semua, aku yakin masih ada orang yang sayang dan mengingatkanku betapa berharganya kesehatan itu. Betapa berarti waktu yang disia-siakan hanya untuk tidur. Ah, intinya ia tidak suka dengan kebiasaan yang terus-terusan mendekapku. Ya, tidak bisa tidur malam dan tidak bisa bangun pagi. Sarapan sekaligus makan siang, tidak doyanan (red: milih-milih makanan), tidak doyan sayuran, suka minum es, suka buang-buang duit hanya untuk mencari makanan yang disukai, tepatnya didoyani ('Kan sudah ada catering di pondok, kan?' begitulah pertanyaan yang sering dihantam ke saya :D), belum lagi saya yang males sekali mencuci baju, sering ke laundry (Ya Allah...!, padahal uangnya ya ngirit-ngirit). Hoho, pokoknya dan paling intinya hanyalah ia tidak suka melihatku seperti itu. Hufft..!! Umur memang tidak menjadikan seseorang jauh menjadi lebih dewasa, yupz, dia setahun lebih mudah dariku. Tapi, bagiku dia sudah bisa memanajemenen hidupnya jauh, jauh, jauh lebih baik daripada diriku.

Ya, beginilah pesannya:

"Pernah kamu berpikir mengapa orang gila selalu sehat dan tidak mudah sakit? apalagi orang gila yang berkeliaran di pinggir jalan, mereka tidak pernah mandi, makan minum sembarangan, ada juga yang tidak pakai baju, tidak peduli dengan hal yang kotor tetapi tetap saja mereka sehat. Untuk menjawab pertanyaan ini mudah saja, jawabannya karena orang gila tidak pernah Stres, mereka tidak pernah punya beban pikiran dan selalu merasa bahagia.

Itulah kenapa orang gila tidak pernah sakit karena kehidupan yang selalu bahagia dan tak pernah peduli dengan hal-hal di sekitarnya ini lah yang membuat tubuhnya jauh lebih sehat dibandingkan orang waras.
Orang gila tidak pernah berpikir macam-macam, orang gila tidak pernah minta makanan macam-macam bahkan nasi basi di tong sampah pun akan dia makan. Orang gila taunya dia lapar dan tak peduli dengan nasi basi atau nasi kotor yang penting dirinya kenyang dan bisa jalan-jalan lagi.
Berbeda dengan orang waras, orang waras yang melihat nasi basi saja jijik, terkadang pun sangat pilih-pilih dengan menu makanan, ada masalah sedikit langsung menjadi beban pikiran. Inilah yang membuat orang waras sering merasa stres yang bisa membuat dirinya sakit.
Alangkah luarbiasanya bukan, orang gila yang seringkali disebut dengan orang stres ini ternyata stresnya orang gila membuat dirinya jauh lebih sehat dibandingkan stresnya orang waras yang malah bisa bikin dirinya sakit jiwa.
Dan tahukah kamu orang gila yang dipandang sebelah mata ini ternyata termasuk golongan orang yang mulia di mata Allah. Berdasarkan fakta, coba kamu pikir jika orang gila tidak akan pernah merasa kekurangan, tidak pernah mengeluh bahkan dirinya selalu menerima apa pun pemberian Allah kepadanya. Tidak pernah menuntut macam-macam, bahkan ketika dirinya merasa tidak enak badan dia tidak pernah mengeluh, dia selalu bahagia menerima rasa sakit itu dengan lebih melakukan hal yang menurutnya menyenangkan.
Kondisi seperti itu sangatlah beda jauh dengan orang waras. Orang yang masih waras seringkali merasa kekurangan, sudah punya penghasilan jutaan masih saja selalu merasa kurang, sudah punya motor masih ingin punya mobil, sudah punya menu makanan enak masih saja ingin makanan yang lebih nikmat.
Serba merasa kekurangan inilah yang membuat orang waras selalu banyak pikiran karena keinginannya yang lebih tinggi. Pikiran untuk cepat-cepat bisa mendapatkan apa yang dia inginkan ini yang menjadi beban. Belum lagi jika keinginannya itu tidak tercapai. Pasti akan membuatnya stres dan menjadikan dirinya tidak mau makan, pola hidup yang buruk hingga pada akhirnya membuat kesehatannya lebih buruk.
Untuk itu, mulai sekarang cobalah untuk hidup lebih bersyukur bawa hidup dengan lebih santai namun diringi dengan usaha. Dengan pikiran yang bahagia tanpa beban ini akan membuat tubuh kamu sehat terus dan jauh dari kata sakit."

Rabu, 11 Maret 2015

RESENSI

[Resensi]
Cinta Sejati itu Datang dari Beijing

Judul                                   : Assalamualikum, Beijing!
Penulis                               : Asma Nadia
Genre                                  : Fiksi-novel
Penerbit                         : AsmaNadia Publishing House, Kompleks Ruko D Mall, Blok A No. 14, Jl. Raya Margonda, Depok
Tebal/halaman               : 13x20 cm/viii + 360 halaman
Harga                                  : Rp65.000,00
Edisi                                     : cetakan ketiga, Februari 2014
ISBN                                     : 978-602-9055-25-2



Harta dan kebangsaan,
tak membuat laki-laki menjadi pangeran.
cinta sejati seorang putrilah yang mengubahnya.

                Dewa dan Ra. Dua sejoli yang terikat oleh dia yang bernama cinta. Namun, cinta yang sudah mengantarkan kepada satu komitmen pernikahan itu kandas setelah Anita, teman sekantor Dewa menawarkan cintanya di luar ketidaksengajaan yang keliru. Membiarkan luka dan sisa rasa mengelana di hati Ra, gadis yang sangat dicintai Dewa.
                Asma berjumpa dengan laki-laki jangkung bermata sipit di negeri tirai bambu. Pertemuan pertama mereka membekaskan perasaan aneh di hati laki-laki itu. Zhongwen yang non-muslim kembali ingin sekali berjumpa dengan Ashima, nama khusus yang diberikan kepada Asma sebagai tokoh dalam cerita Ashima dan Ahei, Mitos Yunani Kuna yang bercerita tentang kesetiaan. Asma ragu. Benarkah kesetiaan itu ada setelah hatinya terluka oleh kepupusan cinta orang yang berkomitmen bersamanya.  
                Asma, gadis yang baru-baru ini mengenakan kerudung itu terbukti ketegarannya setelah penyakit APS menjadi teman baru dalam hidupnya. Kuatkah Asma? Penyumbatan darah yang sewaktu-waktu bisa terjadi di bagian tubuh mana saja membuatnya harus siap dengan keterbatasan. Mama dan Sekar, satu lagi Ridwan suami Sekar menjadikan kekuatan tersendiri untuk Asma agar tetap tegar menghadapi ujian yang menimpanya itu.
                Hingga, dua laki-laki yang memiliki tempat istimewa di hati Asma tiba-tiba menghampirinya. Dewa yang dulu sering bertemu di halte bus dan sekarang sudah siap bercerai dengan istrinya untuk menembus kesalahannya. Ataukah Zhongwen, laki-laki berkulit putih yang tetap memanggilnya Ashima, sebagai gadis Cina yang sangat setia dengan kekasihnya Ahei. Mendampingi gadis yang bernama lengkap Asmara melalui lembaran hidup bersama penyakit APS primer yang dideritanya. Beijing, mengantarkannya menemukan cinta sejati yang begitu indah dirasa kedasyatannya.
                Asma Nadia berhasil mengajak pembaca masuk ke dalam kehidupan Asma, Dewa, dan Zhongwen. Begitu banyak pesan yang dapat ditangkap mengenai cinta, kesetiaan, dan perjuangan hidup. Novel yang masih dalam proses cetak ketika Asma Nadia mengikuti International Writing Program, Fall Residency ini mampu menggambarkan Kota Beijing dengan gaya yang berbeda. Serasa pembaca bisa merasakan Kota Beijing sendiri.
                Bahasa yang disajikan lembut dan mengalir enak dinikmati. Mengajak berdiskusi bersama pembaca tanpa ada kesan menggurui. Cerita yang akan diflimkan pada bulan Desember itu dibuat menjadi dua setting yang di awalnya nampak berbeda, namun satu alur membuat pembaca menerka-nerka dengan tebakannya sendiri bagaimana ending cerita manis ini. Selamat Membaca! (Aimah)


JURNALISME MASA KINI

Kembali Menjadi Jurnalisme yang Baik

            Jurnalistik sebagai suatu kegiatan yang di dalamnya mencakup proses mencari berita, menulis, mengedit, lalu mempublikasikan berita tersebut kepada masyarakat luas. Dalam menyampaikan informasi tersebut jurnalistik memerlukan sebuah media. Mulai dari media cetak, media radio, media televisi, dan sekarang yang semakin menguasai yaitu media online.
            Perkembangan zaman dibarengi dengan teknologi membuat sistem budaya manusia semakin berwarna-warni. Banyak budaya-budaya nenek moyang yang hilang, ada yang terinfeksi budaya lain, ada pula budaya yang benar-benar baru. Begitu juga dalam dunia jurnalistik, kini media online atau situs berita di internet mulai menguasai dan menggeser posisi media-media terdahulu, bahkan ada yang menyatakan media seperti media cetak, radio, televisi merupakan media yang tradisional. Sedangkan, media online sendiri merupakan media yang modern.
            Memang media online saat ini menjadi hal yang sangat mudah didapatkan. Dengan adanya media online, penyampaian informasi tidak berbatas ruang dan waktu. Seseorang yang ingin mencari berita yang di dalamnya terdapat teks, audio, video, dan gambar sekaligus hanya perlu menggerakkan jemarinya, lalu klik, menuggu hitungan detik, selesai. Di mana pun dan kapan pun ia bisa dengan mudah mengakses sesuai keinginannya. Bahkan, media sosial seperti facebook, twitter, bbm, whachApp, telah dilengkapi dengan fasilitas penyedia berita. Entah, siapa yang mempunyai ide mulus seperti itu, atau memang media tradisional khususnya media konvensional (media cetak) akan perlahan-lahan terbunuh?
            Hal yang paling penting di samping membicarakan soal media berita adalah kualitas berita yang disampaikan. Pada dasarnya, dalam jurnalitik hal pokok yang harus ada adalah berita itu harus sesuai dengan kebenaran. Kebenaran yang apa adanya dan tidak mengada-ada sesuai apa yang telah terjadi. Hal itulah yang saat ini sulit didapatkan. Banyak media yang berkerja sama dengan pihak-pihak tertentu atau bekerja di bawah sebuah kekuasaan sehingga tujuan pemberitaannya kadang harus mengikuti pihak-pihak tersebut tanpa menghiraukan aturan jurnalistik yang jelas-jelas sudah tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).
            Publik juga mempunyai hak dalam mendapatkan berita, makanya yang terpenting di sini bukanlah melalui apa berita itu disampaikan, tapi bagaimana berita itu memuat sesuatu yang benar dan baik bagi masyarakat sehingga menimbulkan respons balik yang positif. Namun, perlu diakui bahwa walaupun media cetak sekarang semakin terhimpit, media cetak masih tetap memiliki beberapa keistimewaan. Media cetak lebih mengedepankan penggunaan bahasa Indonesia sesuai EYD dibanding media online yang terkesan tanpa proses editing karena harus segera di-posting. Media cetak masih dibutuhkan oleh kaum bawah yang di Indonesia masih tinggi karena belum memiliki gadget untuk mengakses di media online. (Aimah)



Menyayangi Hewan Kesayangan Rasulullah                 Kucing merupakan hewan yang sering berada di sekitar kehidupan dan lingkungan manu...