Senin, 29 Desember 2014

Di Ujung Sebuah Keikhlasan

Di Ujung Sebuah Keikhlasan

Karya: Aim_Ummu el huroir

Di Ruang tamu, Fadhil memulai katanya.
“Bagaimana Dik, kamu bersedia memberiku ruang di hatimu untuk meraih Sunnah Rasulullah ini?.”
Deg!. Perkataan itu kembali menggertakan hati Fatinah. Atau biasa dipanggil Fatin itu. Lagi-lagi wajah Fatin hanya mewakilkan kebingungan hatinya. Fadhil pun memulainya lagi.
            “Aku mengerti, mungkin ini terlalu cepat untuk kamu, dan pasti kamu juga tidak akan menyangka bahwa kedatanganku ke sini dengan penuh kemantapan untuk memilkimu secara sah yang akan membawa kehalalan bagiku.”
Fatin pun mulai mengerti apa makna kalimat tadi.
            “Maaf Mas beri saya waktu untuk memikirkan hal yang tidak mudah untuk saya putuskan ini.”
            “Ya saya mengerti, kutunggu jawabanmu Dik.”
Kembali Fatin teringat suasana dua minggu yang lalu itu. Kini yang ada di hatinya hanya rasa gelisah yang tak tau kapan berakhirnya. Pilihan antara melanjutkan kuliahnya ke luar negri dengan prestasi dan tanpa biaya atau memilih menjadi istri seorang Ustad yang bersarjana satu dan soleh itu.
            Dengan melihat usia Fadhil yang tujuh tahun lebih tua, rasanya tak sanggup membayangkan bila dia harus menunggu Fatin lima tahun lagi setelah menempuh pendidikannya itu. Sedang, Fatin yang baru berumur 22 tahun itu ingin menggapai cita-cita yang telah diimpikannya sebelum ia diwisuda tahun ini. Namun apapun muatan hati Fatin, dia harus mengungkapkannya kepada Fadhil. Bicara soal hati,  Fatin dari dulu memiliki perasaan lebih terhadap Fadhil. Tetapi ketika perasaan yang telah lama ingin diluapkan itu terbalas, kegoncangan hadir mempertanyakan perasaan itu.
***
            “Dik Fatin…”
            “Iya Mas.”
            “Lalu bagaimana?.” sambil mengerutkan keningnya.
            “Mas mengerti akan rencanaku untuk melanjutkan kuliah di luar negri kan?.”
            “Insya Allah, dengan kebesaran Allah, aku akan ikhlas menunggumu Dik, lima tahun bahkan lebih.”
            “Subhanallah..,, Mas yakin?.”
            “Iya, Dik.”
            “Terima kasih Mas, atas keikhlasanmu, maafkan saya Mas,.”
            “iya Dik, tidak apa-apa.”

            Fatin pun terasa bias menghirup udara bebas kembali dan lebih semangat lagi untuk menggapai mimpinya itu.
Dengan kepastian Fadhil, dia pergi meninggalkan Bumi Pertiwi ini singgah ke negri Islam, Kairo Mesir itu dengan penuh orientasi yang berujung istana cinta yang mereka impikan. Dia juga yakin, ketulusan cinta yang ia peluk akan mampu menghalau segala ujian cinta yang mungkin lebih kejam dari ini.
***
            Hubungan yang terbentang jarak jauh, memang tidaklah mudah. Hanya seminggu sekali rata-rata Fadhil maupun keluarga Fatin mendapatkan secuil kabar darinya. Itu pun hanya melalui via E-mail. Tidak masalah untuk Fadhil, yang penting masih dapat kabar dari orang yang ia rindukan saat ini. Juga karena Fadhil sudah mempunyai kesibukan sendiri menjadi seorang guru di sebuah SMA dan juga menjadi Ustad di sebuah Pondok Pesantren di Desanya.
            Memiliki kekuatan rasa cinta yang sama dan terjarak oleh berabadnya waktu menjadikan mereka harus ikhlas menerima ujian cinta yang datang dari-Nya. Hanya karena keyakinan sebesar itu, mereka mampu menghadapi berbagai persoalan-persoalan kecil terkait dengan hubungan mereka. Dengan hati penuh dengan kedewasaan, mereka selalu dan tetap dalam satu tujuan dan satu langkah yang sudah jelas arahnya kemana harus berpijak.
            Mulai dari masalah restu orang tua, umur, pekerjaan, karir, dan segelumit model masalah yang tak tampak oleh orang lain. Kerinduan yang semakin berpacu dan memenuhi beranda hati mereka, tak dapat dielakkan. Namun, semua itu harus mereka empaskan demi mewujudkan sebuah mahligai cinta yang menjadi sunah Rasulullah itu.
***
            Waktu beradu semakin menggebu, tak pelak, lima tahun yang terasa sangat lama itu, kini tinggal satu bulan untuk menghabiskannya. Prosesi wisuda yang digelar dua minggu sebelumnya, harus Fatin ikuti tanpa hadirnya sanak keluarga, sahabat, teman, maupun Fadhil yang sangat ia harapkan. Rentang jarak dan biaya menjadi kendalanya. Satu bulan tersisa untuk mengurus segala kebutuhan baik mengenai berkas-berkas kelulusannya di Universitas tersebut atau memulai berkemas untuk pulang ke tempat asalnya dengan kerinduan yang semakin menyerbu hatinya.
***
            Kabar kepulangan Fatin  sudah diketahui oleh keluarga dan juga Fadhil. Betapa akan bahagianya dia, keikhlasan dia untuk menunggu selama itu, tinggallah menghitung berpuluh jam lagi. Jika dihitung dengan hari, hanya akan menunggu lima hari lagi menuju pelaminan, mengikrarkan sumpah setia di hadapan para saksi. Lalu, memberi seberkas mahar yang dengan ikhlas ia akan berikan untuk orang yang ia nanti dan cintai itu.
            Fadhil tak mau lebih dalam lagi membayangkan dan melayang lagi membiaskan semua keinginan besarnya itu. Segala persiapan sudah disiapkan satu bulan saat Fatin masih di negri orang itu. Mungkin terlalu cepat jika hanya lima hari setelah ia di rumah, Fatin juga diminta untuk segera melangsungkan munakahat yang juga sangat ia nanti-nanti itu. Tak masalah bagi Fatin, karena sudah pasti dipertimbangkan segala sesuatunya, dan jika harus secepat itu, dia pasti bisa menerimanya.
            Tiba-tiba Hp Fadhil berdering. Nada panggilan masuk membuyarkan lamunan indahnya, adikQ Fatin (nama kontak untuk Fatin) memanggilnya.
            “Assalamu’alaikum Mas.”
            “Wa’alaikumsalam, Dik.”
            “Sampai mana Dik?.”
            “Sudah memasuki wilayah Indonesia Mas. Mas apa kabar?.”
            “Alhamdulillah Dik, Allah selalu memberi Mas kesehatan dan kebahagiaan yang kutunggu pun akhirnya akan segera datang.”
            “Saya sangat berterimakasih kepada Mas, sudah ikhlas menunggu saya selama itu.”
            “Itu karena saya punya mimpi Dik, mimpi yang sebentar lagi akan terwujud bersamamu Dik.”
            “Saya yakin Mas, keikhlasan dan kebesaran cinta Mas, suatu saat akan terwujud lebih indah dari ini, jika kepulanganku tak sesuai harapan Mas, aku mohon maaf Mas.”
            “Kita akan tetap bersama Dik, selamanya, di dalam ridho Allah.”
            “Insya Allah Mas, saya juga mencintaimu Mas hingga waktu kunanti. Boleh aku minta satu hal Mas?.”
            “Boleh Dik, apa itu?.”
            “Mas harus selalu mempunyai rasa ikhlas Mas, kepada siapapun dan dalam keadaan apapun. Aku juga sangat ikhlas telah mencintaimu Mas.”
            “Insya Allah, Dik.”
            “…”
            “Dik??.”
            “…”
            “Dik, masih mendengar suara Mas?!.”
***
            Banjir tangis  dan ungkapan bela sungkawa tanda rasa kehilangan yang teramat dari para keluarga, sahabat teman, memenuhi rumah Fatin. Tak pernah terbenak, kecelakaan yang mengguncang pesawat yang ditumpangi mahasiswa-mahasiswa dari Universitas luar negri itu, telah merenggut nyawa Fatin. Seorang yang ditunggu sekian lama itu telah kembali kehadapan-Nya.
            Tak terbayangkan, Fadhil tak mampu lagi mengerti arti keikhlasan yang ia yakini akan membawa kebahagiaan bersama orang yang ia cintai itu. Fadhil juga tak mampu bergerak. Tak mampu menyentuh makna pesan terakhir dari Fatin. Apa masih perlu Fadhil memiliki rasa Ikhlas ini. Apa pantas Fadhil ikhlas akan kepergian seorang yang dengan ikhlas ia nantikan berpuluh waktu itu. Apakah Fadhil masih bisa berikhlas atas kejutan dasyat ini. Inikah ujung dari sebuah keikhlasan itu.
***


           
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menyayangi Hewan Kesayangan Rasulullah                 Kucing merupakan hewan yang sering berada di sekitar kehidupan dan lingkungan manu...