Senyummu,
Memaafkanku
Oleh: Aim El Huroiroh
Ramadan
telah menyingsingkan hari demi hari hingga kulewati begitu singkatnya. Bulan
malam yang sudah tak tampak semburat sinarnya pertanda angka ganjil mulai
berlomba mencari malam seribu bulan. Sembilan hari lamanya untuk menuju
kemenangan itu. Kulirik jam yang berada di pergelangan tangan kiriku sudah
menunjukkan pukul 22. 34 WIB. Laptop yang berada tepat di hadapanku masih
bernafas dengan suara mesinnya. Rasa kantuk tak menggoyahkanku mengerjakan
laporan yang harus kukumpulkan besok. Laporan terakhir untuk tugas ujian
semester empatku. Semangat segera pulang kampung menikmati suasana bulan suci
bersama keluarga tercinta.
Selesai!
Hidupku bagaikan burung yang terbebas dari jerat sangkar bebasnya. Terbang bersama
angin dan awan di atas hamparan langit biru. Senang dan bersenandung meski
hanya sementara. Perasaan senang itu tiba-tiba terusik oleh memori kuning masa
lalu bersama kakakku. Hatiku risih dan malu ketika kumulai mengerti apa yang
Allah takdirkan kepada kakakku. Dunia seakan membisu dan membisukan fitrah mata
hatiku. Kakak yang mengalami dan aku yang berimbas malu. Waktu itu, aku baru
kelas tiga SD dan kakak sudah berumur remaja, tanpa kutahu pasti umurnya dan
cantik. Aku dan teman-temanku SD bermain di pekarangan rumah sederhana milik
orang tuaku. Peta umpet menjadi mainan yang menyenangkan saat itu dan temanku
Doni menjadi penunggunya. Kami berpencar mencari tempat persembunyian. Aku
bersembunyi di balik meja ruang tamuku. Di sana ada kakak yang sedang menyapu
lantai.
“Di
mana Ikmal, Kak? Kakak lihat Ikmal?” kata temanku. Takut temanku mengetahui
keadaan kakakku, aku sengaja keluar dari bawah meja menunjukkan diri kepadanya.
Keesokan harinya setelah kejadian tak sengaja itu, teman-temanku menjauhiku dan
sering mengejekku. Aku sangat sedih dan tak punya teman seperti dulu.
Hari-hariku membisu, tanpa kicauan burung dan rengekkan jangkrik atau pun
desisan angin. Hanya ada diam dari lidah yang tak bergerak. Aku benci kakak,
karena kakak aku tak punya teman dan menjadi ejekan omongan. Malu sepanjang
aliran waktu selama aku sekolah di SD.
Kebencian
kecil itu sebenarnya kupendam tanpa kuutarakan kepada kakakku. Aku masih takut
dengan bapak ibuku yang setiap hari mencairkan hati memberi pelajaran-pelajaran
hidup, bercerita tentang kisah-kisah yang lucu, dan meminta kami agar selalu
menyayangi saudaranya sendiri apapun keadaanya. Bagi kami, entah tanpa perasaan
benci itu atau tidak, keluarga adalah bangunan yang saling menguatkan satu sama
lain. Jika satu bagian itu retak, yang lain akan ikut rapuh dan jika dibiarkan
akan merobohkan setiap puing di dindingnya.
Bagian
itu sudah ada yang retak, pikirku kala aku naik ke kelas tiga SMP, enam tahun
yang lalu. Aku tak pernah mengerti bagaimana perasaan yang dibumbui iblis ini
masih bersemayam di hatiku. Aku tak bisa marah atau pun memberi hinaan sekata
pun. Bagiku itu hal yang sangat sia-sia. Aku tak pernah tahu bagaimana kakak
menunjukkan cintanya kepada adiknya. Dunia hanya diam melihat tingkahku semakin
membahana tak jelas oleh perasaan aneh untuk kakakku sendiri. Kakak yang selalu
memberiku sarapan setiap aku akan berangkat sekolah, kakak yang tak pernah
bosan menjemputku saat pulang sekolah, dan kakak yang sangat tulus menjagaku
dari ganasnnya pancaran matahari, hingga ia rela menggendongku agar kakiku tak
terkena jalan aspal yang begitu panasnya di siang hari tanpa peduli punggungnya
encok.
Pernah
aku berpikir, adakah yang selain dia di dunia ini yang begitu menyayangiku
melebihi kedua orang tuaku sendiri? Ya Rabb..., hatiku sangat hina dan sangat
keji sempat merasakan benci yang meracuni diriku sendiri. Hukuman apa yang
harus kutimpa agar dosaku terhapuskan dan membalas setiap jengkal ketulusannya?
Tanpa terasa pipi ini telah lembab oleh deraian air mataku. Mengingat betapa
buruknya diriku dulu, membenci kakak yang cantik tanpa pernah cerewet sedikit
pun menyayangiku hingga detik ini. Malam ganjil di bulan suci ini membawa
lantunan rindu berirama merdu mengalir di lubuk hati ini. Aku ingin sekali
memeluknya dan menunjukkannya ke dunia. Akan kutunjukkan inilah kakakku yang
cantik yang telah mampu membuatku masuk ke jenjang perguruan tinggi favoritku.
Kakakku yang ingin adiknya menjadi orang yang bisa pandai bicara dengan
kebenaran. Kebenaran yang benar di hadapan Allah. Kebenaran yang
sebenar-benarnya benar.
“Jadilah
Kamu manusia yang selalu berbicara benar Mal, itu adalah cita-cita kakakmu yang
sangat menyayangimu. Meskipun itu menyakitkan, bicarakanlah dengan
sebenar-benarnya.” pesan Ibu sebelum akan masuk ke perguruan tinggi. Ya, saat
itu aku sangat tidak yakin bisa meraih impian kakak. Aku harus berkata benar,
apapun itu. Aku bingung saat itu, namun hidup dan ketulusan kakakku membuatku
harus berani menggapainya. Aku akan mengatakan sebenarnya dengan indra mulutku yang
sempurna jika aku pernah memiliki perasaan aneh kala kecilku dulu dan sebagai
balasannya aku akan menggapai keinginan kakakku. Aku janji. Aku akan meminta
maaf dan memberikannya gaun lengkap dengan jilbab putih yang sangat cantik jika
dipakai dirinya di saat kemenangan tiba nanti, aku sangat yakin itu. Namun,
kebahagian sesaat itu hanyalah sebuah bayangan saja,
“Benar
katamu Mal, dia sangat cantik mengenakan baju dan jilbab putih itu dengan
senyumnya yang sangat menawan dan harumnya bagai melati putih yang berasal dari
taman Syurga.” kata Ayah di tengah tangisanku yang membuncah. Hatiku tersambat
petir yang sangat dasyat dan jiwaku terterjang oleh ombak penyesalan. Air
mataku tak hentinya menetes bagai hujan deras di kala musimnya. Kakak
benar-benar tak membuka matanya. Mulutnya yang tak pernah mengeluarkan kata
sepatah kata pun semasa hidupnya kini dihias oleh lengkungan manis di wajahnya,
ya, kakakku sangat cantik. Dan, aku gagal memeluknya ketika seperti ia masih
bisa menggendongku, hanya dalam pembaringan ia diam berjuta bahasa, dan aku
yakin kakak sedang berbicara yang sebenar-benarmya, jika hidup adalah lorong
yang sewaktu-waktu bisa membawamu ke dalam kematian.
“Kakak,
aku yakin dengan diammu itu, kau mempunyai berjuta bahasa kasih sayang dalam hati
untuk adikmu ini. Dalam diammu itu telah mengurung perkataan kotor dan dusta
yang sangat dibenci Allah, Minal Aidzin Wal Faidzin Kak, mohon maaf lahir dan
batin ya Kak, maaf aku terlambat.” kucium batu nisan yang telah menutupi
tubuhnya. Harum bunga melati Syurga dan senyuman itu membuatku yakin jika
kakakku telah memaafkan semua perasaan getir itu, “Terimakasih Kakak...”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar