Lima tahun
silam, 2009
Aira
cemas menunggu sendiri di bilik rumah kecilnya. Menanti seseorang yang kini tengah menghadiri acara wali murid
di SMP di desanya itu. Bukan Emaknya yang ia cemaskan. Hingga suara
khas gaya jalan Emaknya pun terdengar. Dengan dentuman jantung yang
semakin kencang, Aira menyambut Emak
tepat di depan pintu rumahnya. Dengan cepat, amplop putih yang di covernya
tertulis namanya itu sudah berada di tangan Aira. Sembari membuka,
dentuman-dentuman di jantung Aira semakin memuncak. Dua buah suku kata yang
ditulis kapital semua dan di-bold
itulah yang tengah memecahkan letusan kecemasan di dalam hatinya.
LULUS
***
Aira menangis lagi.
“Bagaimana
ini Rif?” tanya Emak sambil melihat
Aira menangis.
“Iya
Mak, sudah saya carikan. Saya sudah
ngobrol-ngobrol sama pak kepala sekolah.” jawab kakak Aira.
Masih
saja Aira berkokoh menitihkan air matanya. Berpura tak mengerti tujuan
pembicaraan itu.
***
Waktu mulai menginjak ke pertengahan
malam. Beberapa menit lagi mungkin. Aira masih saja belum terpejam. Lampu
berdaya 10 watt yang berada di atas gotaan
sempit dan berisi 7 santri putri itu sedari tadi sudah tidak menyala. Ketujuh
santri itu pun sudah melalang buana ke alam mereka masing-masing. Tetap saja
Aira tak berhasil menutup kelopak matanya.
Benaknya
sedang menjamu sketsa beberapa hari yang lalu. Saat Aira berduduk siku di rumah
kayunya mendengarkan nasihat-nasihat dari orang tuanya.
“Emak....!”
panggil Aira dalam hatinya beriring dengan air matanya. Di mata Aira yang penuh
linangan air itu tak pernah berhenti merindukan wajah Emaknya. Wajah Emak yang
mulai berkerut menggambarkan semakin banyak beban yang harus ditanggung demi
cita-cita Aira.
***
Dua tahun
yang lalu, 2012
Tiga tahun berlalu
bersama prestasi Aira yang tak pernah berlalu. Peringkat pertama selalu ia
dapatkan selama sekolah. Emak pasti
bahagia. Bahagia karena Aira segera kembali menemani Emak di gubuk kayunya. Namun, menjadi mahasisiwi di sebuah
perguruan tinggi adalah mimpi Aira selanjutnya.
“Mak, Aira lolos, masuk.” ucap Aira semangat sekali.
“Lolos piye, Nduk?” jawab Emak tak mengerti.
“Aira dapat beasiswa
dan masuk perguruan tinggi yang Aira cita-citakan, Mak.”. Rona muka Emak
tetap saja datar dan nampak Emak tak
ingin berpisah lagi dengan Aira. Yang Emak
ingin Aira menemani masa tua orang tuanya. Bukan mimpi, bukan prestasi.
Tapi, Aira tetap saja Aira.
***
“Emak..” panggil Aira lirih.
“Dalem Nduk...” jawab Emak juga
lirih.
“Emak ingin Aira jadi apa, Mak?”
“Kuliahe sing sregep, Nduk.”
“Enggeh, Mak. Restui Aira menghafal Alquran Mak,...” sembari menciumi tangan Emak.
Sebuah hadiah yang
sangat jauh diinginkan Emak. Emak tak pernah tau bagaimana Aira
melakukan ini semua. “Jika Aira belum bisa membahagiakan Emak dan Bapak di dunia ini, Aira ingin dekat dengan Allah dan akan
selalu Aira pintakan kebahagiaan abadi teruntuk mereka. ‘Fadhulii fii ‘ibadii
wadkhulii jannatii’...”.
Hanya hati Aira yang
mampu mengungkapkannya.
***
Nama saya Aimah Nurul Falah,
panggil saja Aim. Lahir di Jepara, 19 Oktober 1994. Masih belajar di jurusan
Bahasa dan sastra Indonesia semester 4, tepatnya prodi sastra Indonesia di
Unnes. Jangan lupa mari berbagi ilmu di akun FB: Aimah Nurul Falah, Twitter:
@aimmatuzzahro atau e-mail: aimmae_beluphet@yahoo.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar